Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam satu hingga tiga bulan ke depan, volatilitas rupiah diperkirakan bakal empat kali lebih tinggi dibanding volatilitas rupiah di tahun 2017.
Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Adrian Panggabean memperkirakan, volatilitas di pasar valas rupiah bakal berlangsung sampai akhir September 2018. Khususnya mulai akhir Agustus atau dua minggu menjelang kenaikan suku bunga The Fed berikutnya yang diprediksi oleh pasar.
“Untuk tahun 2018 kami tetap melihat volatilitas rupiah akan berada di 350 pips, atau 4 kali lebih tinggi dibanding volatilitas rupiah di tahun 2017,” kata Adrian dalam laporannya yang dikutip KONTAN, Selasa (31/7).
Pertama, ia menjelaskan, data menunjukkan bahwa sampai dengan akhir Juni 2018 neraca bank sentral Amerika Serikat hanya turun sebanyak US$ 145 miliar dalam enam bulan. Kesemuanya memunculkan dugaan bahwa neraca bank sentral AS memang masih dijaga relatif gemuk dibandingkan dengan target awal The Fed itu sendiri.
Implikasi yang ia tangkap dari kedua hal di atas adalah pada prospek nilai dolar (DXY) di kuartal III-2018, yang kemungkinan besar akan tetap berada di rentang 93-96. Rentang DXY yang selebar itu membuka kemungkinan akan tetap tingginya volatilitas di pasar valas rupiah sampai akhir September 2018.
Kedua, sejak kenaikan 7DRRR sebanyak 100 bps, obligasi non-benchmark telah naik. Namun, yield obligasi tenor 10-tahun tetap bertahan di kisaran 7,5 – 7,8%. Masih terjadinya outflow dari dana/investasi asing di pasar obligasi kemungkinan besar disebabkan oleh belum yakinnya investor asing akan sikap terhadap bias kebijakan suku bunga dari bank sentral. Faktor flow ini, menurut Adrian, berperan besar dalam menekan kurs rupiah.
Ketiga, selain faktor DXY dan faktor arus dana atau investasi asing, ia melihat ada tiga faktor tambahan yang berpengaruh langsung terhadap kurs rupiah. Pertama, dinamika ekonomi China dan kurs Yuan (CNY). Imbas langsung dari pelemahan CNY adalah pada competitive depreciation pada mata uang banyak negara di Asia, termasuk rupiah.
Kedua, berasal dari pergerakan harga minyak dunia. Data historis menunjukkan bahwa setiap terjadi episode di mana jarak antara harga minyak dunia dengan harga BBM dalam negeri melebar ujungnya adalah pelemahan rupiah.
Ketiga, prospek melebarnya defisit transaksi berjalan (current account deficit) yang disumbang oleh kegiatan proyek infrastruktur. Adrian memperkirakan, defisit transaksi berjalan tahun 2018 di angka 2,4% dari PDB. Adapun ia memperkirakan defisit fiskal di angka 2,4% dari PDB.
“Defisit ganda di kedua neraca ini berpotensi menekan kurs rupiah di sisa tahun 2018,” ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News