Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ditekennya Undang-Undang tentang Majelis Permusyawarahan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) membuat awam bertanya, masih bolehkah masyarakat mengkritik DPR? Jawabannya, tentu boleh bila kritik berasal dari fakta.
Direktur Populi Centre, Usep S Ahyar menjelaskan, sesungguhnya masyarakat harus mengetahui bahwa mengkritik dan menghina adalah dua hal yang berbeda. Kritik merupakan proses demokrasi yang mengungkapkan fakta yang perlu diperbaiki, sedangkan menghina bersifat pribadi dan mencela.
"Pasal penghinaan itu misalnya spesifik ke anggota DPR dan menyatakan dengan gamblang bahwa dia bodoh. Tapi kalau mengatakan kinerjanya lebih buruk dari periode sebelumnya, maka itu tidak masalah," jelas Usep kepada KONTAN, Kamis (15/3).
Atas kondisi tersebut, Usep melihat masyarakat tidak akan berhenti mengeluarkan kritik. Pasalnya, masyarakat Indonesia terhitung sangat aktif dalam berdemokrasi baik dengan metode konvensional seperti demonstrasi di jalanan maupun kritik di sosial media. Sehingga ketakutan akan pasal penghinaan seharusnya tidak menyurutkan semangat untuk terus memberikan kritik yang terstruktur.
Hal senada juga disampaikan oleh Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz. Menurutnya pihaknya tetap tidak akan takut untuk melontarkan kritik kepada DPR.
Soalnya, memberi kritik masih dalam ranah demokrasi yang membangun, berbeda dengan menghina yang sudah jelas merupakan tindakan pidana sesuai pasal 122 pada UU MD3.
"Jadi tidak ada yang perlu ditakuti kalau kita mengkritik DPR sepanjang diisi oleh informasi yang kuat dan terverifikasi," kata Donal.
Jelas, sebagai aktivis dalam bidang politik dan korupsi, bersinggungan langsung dengan aparat penegak hukum sudah jadi konsekuensi dasar. Dus, kalaupun harus diproses secara pidana, Donal mengatakan ICW siap menghadapi kondisi tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News