Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Utang luar negeri (ULN) swasta/korporasi yang terus melaju menjadi perhatian Bank Indonesia (BI). Sebab lebih dari separuh utang swasta tersebut belum di-hedging atau mendapat lindung nilai, guna menghindari perbedaan kurs antara rupiah dan dolar Amerika Serikat (AS).
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan utang swasta pada tahun 1999 lebih besar dari utang pemerintah. Lonjakan utang swasta terjadi juga pada 2012 sampai tahun ini, sehingga utang swasta kembali menjadi lebih besar dibanding utang pemerintah. Utang swasta yang besar tidak masalah jika dikelola dengan baik.
BI mencatat, kurang lebih 67% utang swasta yang tidak di lindung nilai atau hedging. "Dari 67% itu penerimaannya tidak dalam bentuk valuta asing," ujar Agus, Rabu (17/9). Karena tidak mendapatkan pemasukan dalam bentuk valas, maka dikhawatirkan tanpa vasilitas hedging, perusahaan akan mengalami masalah jika ada perbedaan kurs yang tinggi.
Posisi utang swasta pada Juni 2014 sebesar US$ 153,22 miliar atau naik 0,76% dari posisi bulan sebelumnya sebesar US$ 152,07 miliar. Sementara utang pemerintah pada Juni 2014 turun 0,78% menjadi US$ 122,19 miliar.
Oleh karena itulah BI menghimbau swasta untuk bisa melakukan pengelolaan risiko dengan baik dengan melakukan hedging. Karena itu, BI bersama dengan otoritas lainnya seperti Kementerian Keuangan (Kemkeu) menyusun pedoman hedging dalam bentuk standar operasional prosedur (SOP).
Menurut Agus, hedging menjadi pengaman perusahaan dari rugi besar akibat pengelolaan risiko utang yang tidak baik. Menurutnya perusahaan yang baik adalah perusahaan yang tidak mencari untung dari bidang yang bukan merupakan fokus bisnisnya.
Jadi kalaupun mempunyai utang dalam bentuk valas, jangan mencari keuntungan dari besarnya risiko terbuka karena tidak lakukan hedging. Harus lakukan hedging dan pengelolaan risiko terukur yang baik.
Diakui Mantan Menteri Keuangan ini, setiap harinya transaksi pasar valas mencapai US$ 5 miliar. Nilai transaksi ini lebih rendah dibanding Malaysia yang sudah mencapai US$ 12 miliar per harinya. Transaksi ini diharapkan dapat semakin besar. "Agar nanti apabila ada goncangan dari normalisasi The Fed, pasar tidak guncang," terang Agus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News