Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Herlina Kartika Dewi
JAKARTA. Tren kenaikan utang luar negeri Indonesia, khususnya utang luar negeri swasta, menjadi perhatian serius pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Kini, dua otoritas tersebut tengah mencari jurus paling ampuh untuk mengendalikan peningkatan utang ini.
Kementerian Keuangan (Kemkeu) menilai, penghitungan rasio utang terhadap modal atawa debt to equity ratio (DER) adalah salah satu instrumen yang efektif untuk mengerem utang luar negeri swasta.
Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menuturkan, saat ini Kemkeu tengah melakukan studi untuk mengatur utang luar negeri swasta. Menurutnya, hingga saat ini DER merupakan salah satu instrumen yang paling jelas untuk mengendalikan utang luar negeri.
Sebenarnya, kata Bambang sekitar tahun 2000 pemerintah sempat mengeluarkan beleid yang mengatur rasio utang terhadap modal. Kala itu, pemerintah menetapkan rasio utang swasta yakni tiga berbanding satu (3:1). Artinya, besaran utang maksimal hanya tiga kali besaran modalnya.
Sayangnya, aturan ini tak bertahan lama lantaran menuai protes dari kalangan pebisnis dan pelaku usaha.
Nah, Bambang bilang nantinya pemerintah akan membuat aturan DER ini lebih fleksibel. Artinya, batasan rasio utang terhadap modal yang diperbolehkan di setiap sektor akan bervariasi.
Untuk perbankan, misalnya, kemungkinan batasan DER tidak cukup hanya sebesar 3:1. Pasalnya, "Sektor ini meminjam modal dari orang, kemudian dipinjamkan lagi ke pihak lain," jelas Bambang, Rabu (16/7).
Bambang menambahkan, bila ada aturan batasan rasio utang terhadap modal, harapannya utang korporasi takĀ semakin membengkak. Sebab, adanya batasan ini dengan sendirinya akan menjadi koridor bagi pelaku usaha dalam menarik utang.
Catatan saja, berdasarkan data BI per April 2014 jumlah utang luar negeri Indonesia US$ 276,58 miliar, tumbuh 7,6% dari periode yang sama tahun lalu. Rinciannya, utang luar negeri pemerintah US$ 131 miliar dan utang luar negeri swasta US$ 145,62 miliar.
Menteri Keuangan Chatib Basri menambahkan, hingga kini pemerintah dan BI masih merumuskan formula yang paling tepat untuk mengerem laju utang luar negeri swasta. Menurutnya, pemerintah dan BI juga tengah membandingkan kebijakan rasio utang yang diimplementasikan di beberapa negara seperti Singapura dan Korea Selatan.
Chatib bilang, pemerintah juga membuka berbagai opsi atau cara untuk meredam risiko utang swasta. Salah satunya adalah dengan memberikan syarat batas waktu kepemilikan valuta asing (valas) untuk membayar utang.
Misalnya, kata Chatib, bagi perusahaan yang berutang harus menyiapkan valasnya minimal 90 hari sebelum pembayaran jatuh tempo cicilan utangnya. "Sehingga, ini tidak mempengaruhi permintaan valas di pasar," katanya.
Catatan saja, saat ini seluruh instansi pemerintah terkait bersama BI telah membentuk tim teknis untuk mengkaji aturan lindung nilai (hedging). Harapannya, dengan adanya aturan transaksi lindung nilai, bisa mengurangi risiko gagal bayar utang luar negeri swasta.
Sebelumnya, Deputi Gubernur BI Mirza Adityaswara bilang, rapat tim teknis ini masih berkutat pada penyamaan persepsi mengenai hedging. Berbagai rapat tim teknis selanjutnya akan terus dilakukan untuk bisa merumuskan aturan hedging.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News