Reporter: Anna Suci Perwitasari, Margareta Engge Kharismawati | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Tekanan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat belum bisa mereda pada Desember ini. Salah satu penyebabnya adalah utang luar negeri yang jatuh tempo jumlahnya cukup besar.
Bank Indonesia (BI) mencatat, utang luar negeri swasta yang jatuh tempo pada Desember 2013 mencapai US$ 8 miliar. Mayoritas utang jatuh tempo tersebut milik korporasi non bank yakni mencapai US$ 5,92 miliar.
Namun Direktur Eksekutif Departemen Statistik dan Moneter BI, Hendy Sulistyowati, menyatakan, tak semua utang ini akan dibayar pada bulan ini. Berdasarkan pemantauan BI terhadap 20 pemilik utang luar negeri terbesar, hanya 22% saja dari total utang jatuh tempo tersebut yang akan dibayar secara tunai sesuai dengan tenggat waktu.
Sisanya sekitar 78% atau US$ 4,62 miliar sudah mendapat persetujuan refinancing atau pembayarannya dilakukan penjadwalan ulang. Sebab, sebagian besar utang tersebut berasal dari induk usaha, atau perusahaan terafiliasi sehingga pelunasannya lebih fleksibel.
Walaupun begitu, BI tetap melihat masih ada pemilik utang senilai US$ 414 juta atau setara 7% dari total utang jatuh tempo, yang akan mencari valas di pasar untuk membayar utang. Bagi BI kebutuhan valas sebesar ini tidak terlalu besar sehingga bisa mengganggu mekanisme di pasar valuta asing dalam negeri.
Selain masalah utang luar negeri jatuh tempo, Gubernur BI Agus Martowardojo, juga melihat kebutuhan dollar AS meningkat pesat di akhir tahun akibat repatriasi laba atau semacam pembagian bonus. Selain itu, ada kebiasaan dari perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia bertransaksi memakai mata uang asal negeri Paman Sam.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti pun percaya jika perusahaan pemilik utang yang ingin belanja valas ke pasar, tidak akan membuat rupiah goyah pada Desember ini. "Nilainya tidak terlalu besar. Karena transaksi valas di dalam negeri saat ini mencapai US$ 2 miliar per harinya," tambahnya.
Namun Destri mengkhawatirkan adanya korporasi yang saat saat ini mulai mencari pasokan valas, walaupun sejatinya mereka belum membutuhkan dalam waktu dekat. Hal ini terjadi akibat adanya ekspektasi rupiah akan terus melemah sehingga pelaku pasar cenderung melakukan spekulasi. "Biasanya ini hanya berlangsung sementara saja," tegas Destry. Ia memprediksi hingga akhir tahun, nilai tukar rupiah di kisaran Rp 11.300-Rp 11.700 per dollar AS.
Untuk menghilangkan spekulasi, Kepala Ekonom BCA David Sumual menyarankan, sebaiknya korporasi melakukan lindung nilai atawa hedging saat berhutang. Korporasi bisa memenfaatkan instrumen BI seperti lelang swap valuta asing untuk jaga-jaga agar tidak rugi kurs.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News