Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana mematok total pinjaman sekitar Rp 107 triliun dari lembaga multilateral dan bilateral. Pinjaman asing tersebut sebagai salah satu upaya pemerintah guna menutupi defisit (APBN) 2020 yang diprediksi mencapai Rp 1.028,5 triliun atau setara 6,27% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Berdasarkan Draf Kajian Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berjudul Skema Pemulihan Ekonomi Nasional yang dihimpun KONTAN, rencananya pemerintah bakal meminjam US$ 7,3 miliar dari asing.
Hitungan KONTAN angka tersebut setara dengan Rp 107,71 triliun bila menggunakan kurs rupiah pada penutupan kemarin (26/5) di level Rp 14.755 per dollar Amerika Serikat (AS).
Baca Juga: Aturan baru BLT dana desa dibuat untuk mempermudah penyaluran bantuan
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, pinjaman dari luar negeri baik bilateral maupun multilateral cenderung relatif lebih mahal mempertimbangkan bahwa kapasitas dari lembaga-lembaga multilateral ini juga cenderung terbatas.
Hal ini disebabkan oleh banyak negara di dunia yang juga terkena dampak negatif dari Covid-19 juga mengajukan pinjaman luar negeri kepada lembaga multilateral tersebut. Dus, dengan pelebaran defisit APBN, pemerintah tentu akan mencari beberapa alternatif pembiayaan termasuk pinjaman luar negeri dalam rangka diversifikasi pendanaan.
Josua memproyeksi sumber pendanaan utama dari defisit APBN pada tahun ini diperkirakan masih berupa penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), sebagaimana PP 23/2020 dalam rangka pembiayaan PEN, pemerintah akan menerbitkan SBN yang dibeli oleh Bank Indonesia (BI) di pasar perdana.
Kata Josua, bila SKB terkait sudah keluar BI akan membeli dengan yield non-kompetitif. Artinya beban bunga cenderung lebih murah bagi pemerintah.
Baca Juga: Ekonom: Surplus operasional BI ditopang pengelolaan cadev yang optimal
“Dan ketika sentimen di pasar keuangan cenderung membaik dan appetite investor membaik maka penerbitan SBN pun juga diperkirakan akan tetap menarik bagi investor,” kata Josua kepada Kontan.co.id, Rabu (27/5).
Kendati begitu, meskipun outlook defisit APBN relatif cukup besar, namun mempertimbangkan pelemahan ekonomi domestik dan global, penyerapan belanja negara pun cenderung tidak optimal.
Sehingga diharapkan jumlah total penerbitan SBN dalam rangka menutupi defisit anggaran diperkirakan akan lebih rendah dari perkiraan awal. “Jadi akan tetap menjaga confidence dari investor serta mendukung sentimen positif di pasar SBN,” ujar Josua.
Di sisi lain, Head of Economics Research Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C Permana menilai, pembiayaan baik dari penerbitan SBN maupun pinjaman luar negeri memiliki konsekuensinya masing-masing.
Menurut Fikri di waktu tertentu pinjaman biasanya memiliki nilai kupon lebih rendah dibanding kupon surat berharga negara.
Di sisi lain, pinjaman biasanya memiliki syarat dan ketentuan tertentu yang tidak ada pada SBN. Terkadang pinjaman hanya dikhususkan untuk sektor atau bahkan institusi tertentu. Sehingga, fleksibilitas anggaran kurang baik.
“Padahal di saat seperti ini yang banyak ketidakpastian, fleksibilitas sangat diperlukan guna menghindari risiko lebih besar,” kata Fikri kepada Kontan.co.id, Rabu (27/5).
Baca Juga: Bank Indonesia mencetak surplus operasional Rp 33,35 triliun di 2019
Artinya, lembaga internasional akan memiliki kekuasaan lebih sebagai prasyarat memberikan utang kepada pemerintah.
“Walau dalam beberapa waktu terakhir world bank dan international monetary fund (IMF) sudah tidak sekaku dulu, tapi tetap saja fleksibilitas menjadi isu utama bagi pinjaman yang diberikan oleh lembaga-lembaga donor atau institusi tertentu,” kata Fikri.
Informasi saja, Kemenkeu juga akan menerbitkan SBN sebanyak Rp 990,1 triliun untuk kebutuhan Juni-Desember 2020.
Penerbitan SBN tersebut melalui lelang di pasar domestik, private placement, dan SBN skema khusus dengan Bank Indonesia (BI). Kemudian, penerbitan SBN ritel senilai Rp 40 triliun-Rp 50 triliun dan penerbitan SBN valas sekitar US$ 4 miliar sampai US$ 7 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News