Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
Sehingga diharapkan jumlah total penerbitan SBN dalam rangka menutupi defisit anggaran diperkirakan akan lebih rendah dari perkiraan awal. “Jadi akan tetap menjaga confidence dari investor serta mendukung sentimen positif di pasar SBN,” ujar Josua.
Di sisi lain, Head of Economics Research Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C Permana menilai, pembiayaan baik dari penerbitan SBN maupun pinjaman luar negeri memiliki konsekuensinya masing-masing.
Menurut Fikri di waktu tertentu pinjaman biasanya memiliki nilai kupon lebih rendah dibanding kupon surat berharga negara.
Di sisi lain, pinjaman biasanya memiliki syarat dan ketentuan tertentu yang tidak ada pada SBN. Terkadang pinjaman hanya dikhususkan untuk sektor atau bahkan institusi tertentu. Sehingga, fleksibilitas anggaran kurang baik.
“Padahal di saat seperti ini yang banyak ketidakpastian, fleksibilitas sangat diperlukan guna menghindari risiko lebih besar,” kata Fikri kepada Kontan.co.id, Rabu (27/5).
Baca Juga: Bank Indonesia mencetak surplus operasional Rp 33,35 triliun di 2019
Artinya, lembaga internasional akan memiliki kekuasaan lebih sebagai prasyarat memberikan utang kepada pemerintah.
“Walau dalam beberapa waktu terakhir world bank dan international monetary fund (IMF) sudah tidak sekaku dulu, tapi tetap saja fleksibilitas menjadi isu utama bagi pinjaman yang diberikan oleh lembaga-lembaga donor atau institusi tertentu,” kata Fikri.
Informasi saja, Kemenkeu juga akan menerbitkan SBN sebanyak Rp 990,1 triliun untuk kebutuhan Juni-Desember 2020.
Penerbitan SBN tersebut melalui lelang di pasar domestik, private placement, dan SBN skema khusus dengan Bank Indonesia (BI). Kemudian, penerbitan SBN ritel senilai Rp 40 triliun-Rp 50 triliun dan penerbitan SBN valas sekitar US$ 4 miliar sampai US$ 7 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News