Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Rendahnya realisasi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) pada kuartal pertama tahun 2017 diperkirakan tak bertahan lama.
Bank Indonesia (BI) memproyeksikan, CAD kuartal II akan meningkat dua kali lipat dari kuartal sebelumnya. Hal inilah yang menyebabkan nilai tukar rupiah susah menguat, meski dana investor asing terus membanjiri Indonesia.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, arus modal masuk ke Tanah Air atau capital inflow sejak 1 Januari hingga 11 Juni lalu tercatat sebesar Rp 121 triliun. Jumlah itu hampir dua kali lipat dibanding periode yang sama pada tahun lalu yang sebesar Rp 70 triliun.
Meski demikian, berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), nilai tukar rupiah masih berada di kisaran Rp 13.294 per dollar Amerika Serikat (AS) pada Juni 2017, hanya menguat tipis dari rata-rata Mei 2017 yang sebesar Rp 13.323 per dolar AS.
Menurut Agus, hal itu disebabkan dua hal. Pertama, adanya permintaan impor yang cukup besar sejalan dengan persiapan Hari Raya Lebaran. Kedua, adanya kewajiban pembayaran dividen dan bunga utang ke luar negeri. "Setiap tahun tekanan rupiah cukup besar pada kuartal II," kata Agus saat ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, Senin (19/6).
Secara historis, pada kuartal kedua terdapat kewajiban pembayaran ke luar negeri yang lebih besar dari kuartal-kuartal lainnya, berupa dividen dan bunga pinjaman. Hal ini mempengaruhi defisit neraca pendapatan primer.
Di sisi lain, terdapat peningkatan impor guna persiapan Hari Raya Idul Fitri. Peningkatan aktivitas impor juga mempengaruhi neraca perdagangan barang. Walhasil, CAD melebar pada kuartal II ini. "Kuartal kedua, (CAD) diperkirakan 2% dari PDB. Jadi saya lihat ini kondisi yang mencerminkan pasar," kata Agus. CAD kuartal I-2017 lalu hanya US$ 2,4 miliar atau 1% dari PDB.
Ekspor melemah
Dari paparan BI di Badan Anggaran DPR pada 6 Juni lalu, bank sentral memperkirakan neraca perdagangan barang akan turun menjadi US$ 40,7 miliar di kuartal II-2017 dari kuartal sebelumnya US$ 40,8 miliar. Penurunan itu karena melemahnya ekspor dan peningkatan impor.
Pada periode yang sama, BI juga memperkirakan defisit neraca jasa melebar menjadi US$ 2,9 miliar dari US$ 1,3 miliar. Begitu juga dengan neraca pendapatan primer melebar menjadi US$ 8,3 miliar dari US$ 7,5 miliar.
Meski demikian, Agus masih optimistis defisit transaksi berjalan (CAD) sepanjang tahun ini masih akan tetap terjaga. BI memperkirakan CAD 2017 akan mencapai US$ 18,4 miliar atau 1,82% dari PDB. Angka itu sedikit di atas tahun 2016 yang tercatat US$ 16,3 miliar atau 1,8% dari PDB.
Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness Eric Sugandi mengatakan, surplus neraca perdagangan pada kuartal kedua tahun ini menurun karena kenaikan impor kebutuhan bahan baku. Ini seiring dengan tumbuhnya investasi dan barang konsumsi selama puasa. Defisit neraca jasa juga melebar karena kenaikan biaya transportasi akibat kenaikan harga minyak. Defisit neraca pendapatan primer makin lebar karena repatriasi pada Mei dan Juni.
"Sehingga dugaan saya defisitnya bisa lebih besar dari kuartal pertama 2017," kata Eric. Sayang dia tak bisa menyebutkan angka secara rinci. Namun diperkirakan secara umum, CAD tahun ini mencapai 1,8% dari PDB.
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual melihat dividen yang dibayarkan pada kuartal II tahun ini tidak sebesar tahun lalu. "Dulu sebelum amnesti pajak, pengusaha memiliki vehicle di luar. Setelah amnesti, mereka crossing sehingga ada pengaruh ke pembagian dividen di kuartal kedua tahun ini," kata David.
David menghitung, defisit transaksi berjalan kuartal kedua tahun ini tidak sampai 2% dari PDB, yaitu hanya 1,9%. Sepanjang tahun 2017, ia juga memperkirakan CAD mencapai 1,9% dari PDB.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News