Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Komisi Pemberantasan Korupsi akan mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan ketua Panitia Kerja (Panja) Pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KPK akan meminta agar pembahasan dua RUU tersebut dihentikan.
"KPK sudah membuat draft suratnya dan akan dikirimkan segera," kata anggota Koalisi Masyarat Anti Korupsi dan Reformasi Hukum Tama S Langkun di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Selasa (12/2/2014), seusai mengikuti audiensi dengan pimpinan KPK terkait RUU KUHAP dan RUU KUHP.
Tama dan anggota Koalisi lainnya mengaku diterima Ketua KPK Abraham Samad, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, dan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas.
Menurut Tama, pimpinan KPK merespon desakan Koalisi agar KPK berkirim surat kepada pihak terkait untuk menyikapi RUU KUHAP/KUHP. Selama audiensi dengan pimpinan KPK, Koalisi menyampaikan kekhawatiran mengenai kemungkinan DPR berupaya melemahkan KPK dengan mengesahkan RUU KUHP dan RUU KUHAP secara terburu-buru. Apalagi, menurut Koalisi, ada sejumlah poin dalam dua RUU tersebut yang berpotensi melemahkan KPK.
"Pembahasan juga waktunya terlalu mepet. Kemudian anggota Panja DPR itu selama tiga kali rapat itu kehadirannya dipertanyakan, itu enggak sampai setengahnya. Artinya perlu dipertanyakan keseriusannya," ucap Tama.
Selain itu, kata Tama, Koalisi mengkhawatirkan adanya konflik kepentingan dari sejumlah anggota Dewan yang ikut dalam pembahasan RUU KUHAP dan KUHP itu. Pasalnya, menurut Tama, ada beberapa pembahas RUU KUHAP/KUHP yang pernah diperiksa KPK sebagai saksi terkait penyidikan suatu kasus.
"Kami juga bicarakan soal potensi conflict of interest (Konflik kepentingan). Apakah yang bahas punya konflik kepentingan, misalnya dia pernah dijadikan saksi di KPK? Karena semua partai sudah kena di KPK," ucapnya.
Seperti diberitakan, Koalisi mengindentifikasi 12 poin RUU KUHAP yang berpotensi melemahkan KPK. Kedua belas poin itu adalah dihapuskannya ketentuan penyelidikan; KUHAP berlaku terhadap tindak pidana yang diatur di luar KUHP; penghentian penuntutan suatu perkara; tidak adanya kewenangan memperpanjang penahanan dalam tahap penyidikan; masa penahanan tersangka lebih singkat; hakim dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan penyidik; penyitaan harus mendapat izin hakim; penyadapan harus mendapat izin hakim; penyadapan (dalam keadaan mendesak) dapat dibatalkan oleh hakim; putusan bebas tidak dapat dikasasi di Mahkamah Agung; putusan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi; serta ketentuan pembuktian terbalik yang tidak diatur dalam KUHAP.
Terkait pembahasan KUHAP, Bambang Widjojanto pernah menyatakan permintaannya agar DPR menghentikan pembahasan RUU tersebut.
RUU KUHAP dan KUHP diserahkan Kementerian Hukum dan HAM kepada Komisi Hukum DPR pada 6 Maret 2013. Kedua draf regulasi tersebut masuk ke dalam prioritas Program Legislasi Nasional periode 2009-2014.
Setelah menerima kedua naskah itu, DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) Pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP yang dipimpin Aziz Syamsudin, Wakil Ketua Komisi Hukum DPR dari Fraksi Partai Golongan Karya, dengan 26 orang anggota dari berbagai fraksi. Panja telah memanggil sejumlah pihak terkait, kecuali KPK, untuk membahas RUU KUHAP.
Aziz mengaku mendukung penghentian pembahasan RUU tersebut lantaran Kementerian Hukum dan HAM sebagai pihak yang mengajukan draft RUU masih berselisih paham dengan para stakeholder. (Icha Rastika)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News