Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Maret 2025 mungkin menjadi bulan yang dinanti-nantikan oleh banyak karyawan karena adanya pencairan bonus tahunan serta Tunjangan Hari Raya (THR).
Namun, di balik kebahagiaan menerima tambahan penghasilan, karyawan juga harus bersiap menghadapi potongan pajak yang lebih besar.
Hal ini terjadi terjadi akibat penerapan skema pemotongan tarif efektif rata-rata (TER) dalam perhitungan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21.
Skema TER merupakan metode penghitungan pemotongan PPh 21 yang mengacu pada total penghasilan karyawan dalam satu tahun, bukan hanya pada penghasilan bulanan.
Dengan kata lain, semakin besar penghasilan yang diterima dalam satu bulan tertentu, semakin tinggi pula pajak yang harus dipotong karena dihitung berdasarkan penghasilan kumulatif.
Baca Juga: Prabowo: THR Pekerja Swasta Diberikan Paling Lambat 7 Hari Sebelum Lebaran
Pada bulan-bulan biasa, pemotongan PPh 21 dilakukan berdasarkan gaji tetap karyawan. Namun, ketika seorang karyawan menerima tambahan penghasilan seperti bonus atau THR, penghasilan mereka dalam bulan tersebut melonjak, sehingga pemotongan pajak pun meningkat.
Hal ini menyebabkan take-home pay yang diterima bisa lebih kecil dibanding bulan biasa, meskipun total penghasilan bertambah.
Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman menjelaskan bahwa melalui skema TER, pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan THR akan digabungkan dengan PPh Pasal 21 atas gaji dan upah.
Jika THR diberikan pada Maret 2025, maka karyawan di bulan tersebut akan mendapatkan penghasilan berupa gaji ditambah THR. Nah, penghasilan gaji dan THR tersebut digabungkan dan dikalikan dengan tarif TER PPh 21.
"Maka di bulan Maret 2025 ini karyawan akan mendapatkan tarif TER yang lebih tinggi dibandingkan dengan tarif TER atas gaji saja," ujar Raden kepada Kontan.co.id, Senin (10/3).
Hanya saja, Raden mengatakan, berdasarkan pengalaman tahun lalu, banyak karyawan yang kaget karena pemotongannya cukup besar.
Hal ini dikarenakan besarnya tarif TER akan tergantung besaran THR yang diterima.
"Makin besar THR yang diterima, tarif TER juga makin besar," katanya.
Baca Juga: Prabowo Imbau Aplikator Beri Bonus Hari Raya kepada Ojol Sesuai Kinerja
Oleh karena itu, ia menilai bahwa pemotongan PPh 21 yang besar ini akan mengurangi daya beli masyarakat pada saat lebaran, dikarenakan THR yang diterima tidak utuh atau 100%.
Raden menyarankan, lebih baik penghitungan pajak tersebut dikembalikan kepada cara penghitungan PPh 21 yang sebelumnya.
Pasalnya, PPh 21 sebelumnya dihitung berdasarkan proyeksi penghasilan setahun, bukan berdasarkan tarif rata-tara.
Ini berbeda dengan TER yang menggunakan tarif rata-rata yang menyebabkan sebagian ada yang mengalami lebih potong maupun kurang potong.
"Anehnya, jika terjadi lebih potong maka perusahaan harus mengembalikan ke karyawan. Padahal PPh 21 sudah disetorkan ke kas negara. Harusnya, karena sudah disetorkan ke kas negara maka negara yang mengembalikan ke karyawan," terang Raden.
Raden juga menjelaskan bahwa pada skema pemotongan PPh 21 sebelum TER, tidak pernah kejadian perusahaan lebih potong.
"Justru sebagian besar pas pemotongannya. Kenapa pas? Karena setiap jenis penghasilan yang diterima oleh karyawan akan dihitung dua kali. Pertama, dihitung yang rutin dari gaji dan upah. Kedua, dihitung atas penghasilan sewaktu (diterima sesekali saja)," pungkasnya.
Adapun skema TER ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023. Lewat beleid tersebut, besaran PPh Pasal 21 dihitung dengan mengalikan tarif efektif bulanan Peraturan Pemerintah (PP) 58/2023 dengan jumlah penghasilan bruto yang diterima pegawai tetap dalam satu masa pajak.
Nah, penghasilan teratur dan penghasilan tidak teratur yang diterima karyawan tidak dapat dipisahkan dalam perhitungan pajak, sehingga kedua jenis penghasilan tersebut dijumlahkan dan dikenai pemotongan sebesar tarif efektif rata-rata (TER).
Artinya, jika pegawai tetap menerima penghasilan tidak teratur seperti THR dan bonus dalam suatu masa pajak, maka penghasilan tersebut digabungkan ke dalam penghasilan bruto. Untuk menentukan PPh Pasal 21 terutang, penghasilan bruto kemudian dikalikan dengan TER bulanan sesuai status PTKP dari pegawai tetap yang menerima penghasilan.
Misalnya, seorang pegawai tetap bernama Tuan X (TK/0) menerima penghasilan bruto dari pemberi kerja senilai Rp 8 juta sebulan pada masa pajak Februari 2025. Atas penghasilan bruto tersebut, maka Tuan X dikenai PPh Pasal 21 dengan tarif efektif bulanan kategori A sebesar 1,5%.
Kemudian, pada masa pajak Maret 2025, Tuan X menerima THR satu kali gaji sehingga penghasilan bruto yang diterima Tuan X menjadi Rp 16 juta. Oleh karena itu terdapat perubahan tarif, di mana tarif efektif bulanan kategori A atas penghasilan bruto senilai Rp 16 juta adalah 7%.
Hanya saja, DJP Kemenkeu memastikan penerapan metode penghitungan PPh Pasal 21 menggunakan TER tidak akan menambah beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak.
Hal ini dikarenakan tarif TER diterapkan untuk mempermudah penghitungan PPh pasal 21 masa pajak Januari hingga November.
Nantinya pada masa pajak Desember, pemberi kerja akan memperhitungkan kembali jumlah pajak yang terutang dalam setahun menggunakan tarif umum PPh pasal 17, dan dikurangi jumlah pajak yang sudah dibayarkan pada masa Januari hingga November sehingga beban pajak yang ditanggung wajib pajak akan tetap sama.
Baca Juga: Dibayar Maret 2025, Cek Aturan dan Besaran Pencairan THR Pensiunan PNS Tahun Lalu
Selanjutnya: 13 Tarif Kereta Api Ekonomi Jarak Jauh Antar Kota, Harga Murah Mulai Rp 10.000
Menarik Dibaca: Apa Saja Ciri-ciri Vertigo karena Asam Lambung? Cari Tahu di sini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News