kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.060.000   18.000   0,88%
  • USD/IDR 16.445   2,00   0,01%
  • IDX 7.867   -18,52   -0,23%
  • KOMPAS100 1.102   -2,88   -0,26%
  • LQ45 800   1,11   0,14%
  • ISSI 269   -0,86   -0,32%
  • IDX30 415   0,50   0,12%
  • IDXHIDIV20 482   1,02   0,21%
  • IDX80 121   -0,09   -0,07%
  • IDXV30 132   -1,13   -0,85%
  • IDXQ30 134   0,17   0,13%

Tergencet konsumsi dan impor yang tinggi


Sabtu, 04 Oktober 2014 / 10:03 WIB
Tergencet konsumsi dan impor yang tinggi
ILUSTRASI. Ingin Mencoba Diet DEBM? Ikuti Panduan Ini Moms


Reporter: Asep Munazat Zatnika, Dikky Setiawan, Margareta Engge Kharismawati | Editor: Sanny Cicilia

 JAKARTA.  Harga minyak mentah dunia terus melandai. Apalagi, kemarin (3/10), eksportir terbesar di Arab Saudi, Aramco Saudi memutuskan untuk menggunting harga minyak. Keputusan ini diprediksi akan membuat harga minyak dunia semakin dingin.

Hingga penutupan perdagangan Jumat (3/10), harga minyak mentah jenis WTI di bursa Nymex untuk pengiriman November merosot ke level US$ 90,37 per barel, turun 12,52% dari tahun lalu. Turunnya  minyak  WTI ini juga diikuti  minyak Brent turun ke level US$ 92,82 per barel.     

Tren penurunan harga minyak mentah dunia  juga menyeret harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price) yang menjadi acuan anggaran. Per September,  rata-rata  harga ICP US$ 94,97 per barel. Angka ini jauh dari harga patokan APBN-P 2014 segede US$ 105 per barel.

Dengan fakta ini, penurunan harga minyak ICP mestinya bisa jadi angin segar bagi anggaran. Turunnya harga minyak membuka peluang berkurangnya defisit anggaran, terutama defisit yang diakibatkan subsidi BBM dan listrik.   

Masalahnya, penurunan harga minyak tidak dibarengi dengan penurunan konsumsi BBM bersubdisi. Bahkan, diprediksi, kuota BBM bersubsidi tahun ini sebesar 46 juta kilo liter akan jebol. "Dengan pertumbuhan konsumsi BBM setiap tahunnya sekitar 8%, anggaran subsidi berpotensi akan membengkak," ujar David Sumual, ekonom BCA kepada KONTAN (3/10).  

Meski pelemahan rupiah yang kini bertengger di atas Rp 12.000 per barel bisa membantu menyundul penerimaan negara dari ekspor minyak, tapi jumlahnya tak signifikan.

Apalagi, nilai impor minyak juga lebih tinggi ketimbang ekspor. Hingga Agustus 2014, impor minyak tercatat US$ 17,83 miliar, sementara ekspor hanya US$ 2,49 miliar. Melemahnya rupiah   justru membuat nilai impor minyak mentah menjadi lebih mahal.  

Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung mengakui anggaran pemerintah lebih banyak dipengaruhi   n  ilai tukar rupiah dan tingkat konsumsi BBM  .   "Keduanya   terus kami kendalikan agar aman," tutur Chairul.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani menambahkan, instansinya terus memantau pergerakan variabel subsidi BBM. "Saat ini, anggaran masih aman," ujar dia. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×