Reporter: Jane Aprilyani, Margareta Engge Kharismawati | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Impor yang meningkat, khususnya dari komoditas minyak dan gas (migas) terus jadi momok bagi ekonomi Indonesia. Pemerintah harus segera menjalankan kebijakan pengelolaan migas, seperti menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, agar Indonesia tak tersandera oleh defisit dagang yang masih terjadi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menyebutkan, impor di Agustus 2014 sebesar US$ 14,79 miliar atau naik 5,05% dibanding Juli 2014 sebesar US$ 14,08 miliar. Sementara, ekspor tercatat sebesar US$ 14,48 miliar. Alhasil neraca dagang defisit US$ 318,1 juta, turun drastis dibandingkan Juli yang masih surplus US$ 123,7 juta.
Naiknya impor disumbang oleh sektor nonmigas yang meningkat 14,99% menjadi US$ 11,39 miliar di Agustus 2014. Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, kenaikan impor nonmigas bukan hal yang perlu dikhawatirkan.
Ini menunjukkan kegiatan investasi di Indonesia berjalan. Kalau investasi berjalan, maka impor nonmigas ini menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi.
Yang terpenting bagi pemerintah, kata Bambang, ialah menjaga neraca nonmigas tetap surplus. Berdasarkan data BPS di Agustus, neraca non migas masih surplus sebesar US$ 483 juta.
Menurut Bambang, pemerintah masih mengkhawatirkan tingginya impor migas sehingga pengendalian BBM bersubsidi sudah mendesak. "Impor BBM yang tidak perlu harus dikurangi," ujar Bambang, Rabu (1/10).
Impor migas per Agustus mencapai US$ 3,4 miliar sehingga terjadi defisit US$ 801,1 juta. Sebetulnya, defisit ini lebih kecil dibanding Juli yang defisit US$ 1,61 miliar. Meskipun turun, pemerintah masih khawatir karena masih terjadi defisit migas.
Upaya menekan tingginya impor migas, kata Bambang, bisa dilakukan dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Kenaikan harga harus signifikan agar mengerem penggunaan BBM oleh masyarakat.
Ambil contoh, pada tahun 2013 pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 2.000 per liter untuk premium. Kebijakan ini mampu menghemat penggunaan BBM bersubsidi 2 juta kiloliter (kl). Semula pagu volume BBM bersubsidi pada tahun 2013 sebesar 48 juta kl, tapi akibat adanya kenaikan, realisasinya mencapai 46 juta kl.
Penghematan volume terjadi karena sebagian masyarakat migrasi ke BBM nonsubsidi. "Semakin dekat harga jual BBM bersubsidi ke harga keekonomiannya, akan semakin tinggi penurunan impornya," tandas Bambang.
Menteri Keuangan Chatib Basri menambahkan, kenaikan harga BBM bersubsidi juga berdampak positif bagi kesehatan keuangan negara. Jika Presiden terpilih Joko Widodo merealisasikan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 3.000 per liter mulai 1 November 2014, maka anggaran subsidi energi bisa berkurang Rp 21 triliun. "Defisit anggaran bisa di bawah target," tandas Chatib. Tahun ini target defisit anggaran Rp 241,49 triliun atau 2,4% terhadap PDB.
Dengan kenaikan itu, defisit anggaran tahun depan juga bisa berkurang menjadi 1,3%-1,4%. APBN 2015 memasang target defisit anggaran Rp 245,89 triliun atau 2,21% dari PDB. "Kenaikan harga BBM tahun ini memangkas anggaran subsidi tahun depan Rp 159 triliun," tandas Chatib.
Kebijakan drastis ekspor
Selain kenaikan harga, pemerintah juga harus mengubah drastis kebijakan ekspor. Soalnya, pemerintah masih saja mengandalkan ekspor di sektor komoditas. Walhasil, saat terjadi penurunan harga, nilai ekspor pun jatuh.
Kepala BPS Suryamin menjelaskan, salah satu penyebab penurunan ekspor adalah harga crude palm oil (CPO) atawa minyak kelapa sawit pada Agustus yang susut 8,92% dibanding Juli. "Ekspor CPO masih jadi andalan kita," terang Suryamin.
Menurut Bambang Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan ekspor berbasis komoditas. Indonesia perlu melakukan pengembangan pada ekspor yang berbasis non komoditi, yaitu produk olahan. Kalau berharap pada ekspor komoditas akan sulit karena sekarang harga sedang turun.
Selain itu, dari data yang ada, sektor industri juga turut menyumbang defisit perdagangan. Di sektor industri, setidaknya ada tiga produk utama penyebab defisit perdagangan nonmigas, yaitu mesin dan peralatan mekanik, mesin dan peralatan listrik, serta kendaraan bermotor dan bagiannya. BPS dan Kemkeu menilai saat ini Indonesia sudah tak layak mengandalkan barang mentah untuk ekspor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News