Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) potensial menabrak konstitusi.
Hal ini disampaikan Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara Indonesia (ASHTN) saat merespons Perppu MK. "Kami melihat di Perppu No 1 Tahun 2013 ini justru ada beberapa klausul yang potensial menabrak undang-undang dasar," ujar Presidium ASHTN Indonesia Mei Susanto dalam siaran pers di Jakarta, Jumat (18/10/2013).
Lebih lanjut Mei menyebutkan dalam pasal 18A Perppu No 1/2013 tentang MK terkait dengan rekrutmen hakim MK secara tersirat bertentangan dengan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945.
"Panel Ahli telah menggantikan peran DPR, Pemerintah dan MA. Ini tidak sejalan dengan UUD 1945. Sebaiknya, panitia seleksi diserahkan ke masing-masing lembaga saja," tegas alumnus Magister Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini.
Selain persoalan rekrutmen hakim MK, ASHTN Indonesia juga menyoroti tentang susbtansi kegentingan sebagaimana tecermin dalam lahirnya Perppu. Dalam pandangan Presidium ASHTN Indonesia Afifi menilai Perppu MK ini bentuk ketidaktegasan Presiden dalam merespons kegentingan di MK.
"Harusnya Presiden konsisten dengan melakukan seleksi ulang terhadap sembilan hakim MK. Delapan hakim MK saat ini tetap bekerja seperti biasanya dan mereka dapat diajukan kembali sebagai calon hakim MK," sebut Afifi yang juga alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Terkait dengan syarat calon Hakim Konstitusi yang harus mundur dari keanggotaan partai politik minimal tujuh tahun yang tercantum di Pasal 15 ayat (2) huruf I, juga mendapat catatan serius ASHTN.
"Logika berpikir presiden rancu. Satu sisi melarang orang partai politik menjadi hakim MK, namun sisi lain, Presiden justru mengangkat hakim MK dari kalangan partai politik seperti Hamdan Zoelva dan Patrialis Akbar," kata Sudiyatmiko Aribowo, Presidium ASHTN lainnya.
Ia juga mempertanyakan pilihan waktu minimal tujuh tahun tidak aktif menjadi anggota partai politik. Menurut dia, durasi waktu yang disebutkan dalam Perppu MK ini tidak memiliki landasan filosofi yang jelas. Yang lazim, kata Sudiyatmiko, batasan waktu maksimal lima tahun. "Itu merujuk keanggotaan di legislatif," tandasnya. (Tribunnews.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News