Reporter: Abdul Basith | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - Industri gula dan petani tebu harus menelan pil pahit setelah Kementerian Perdagangan (Kemdag) menyegel 50.000 ton gula kristal putih (GKP) di 12 pabrik gula dan sejumlah gudang Perum Bulog. Sebagian dari gula tersebut merupakan gula milik petani tebu yang diolah pabrik gula milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kemdag memutuskan menyegel ribuan ton gula tersebut karena tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan standar International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis (ICUMSA). Dalam SNI GKP, ICUMSA GKP ditetapkan tidak boleh melebihi 300 international unit (IU).
Penyegelan ini berdampak pada petani dan perusahaan produsen gula karena harus mengeluarkan biaya tambahan karena harus melakukan proses ulang.
Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Sumitro Samadikun mengatakan, penyegelan ini membuat petani semakin rugi. Selain itu, petani tidak memiliki modal untuk menanam tebu lagi.
Belum lagi harga lelang gula yang rendah akibat penetapan harga eceran tertinggi (HET) oleh Kemdag.
"Kalau gula milik petani disegel, ya, dampaknya gula petani tidak bisa dibawa keluar, petani tidak ada pemasukan," ujarnya kepada KONTAN, Jumat (25/8).
Ia mengatakan hal ini tidak seharusnya terjadi pada gula petani. Dalam kontrak kerjasama antara pabrik dengan produsen pabrik gula, kalau gula yang diolah harus memenuhi SNI.
Petani juga memberikan 34% dari total nilai tebu yang digiling sebagai biaya pengolahan kepada pabrik gula. Karena itu, ia mengaku kecewa karena petani yang kembali menjadi korban.
Uji Laboratorium
Ketua Dewan Pembina APTRI Arum Sabil menambahkan, penyegelan gula ini berpotensi menimbulkan kegaduhan baru. Sebab tindakan Kemdag ini bisa berdampak psikologis bagi petani di tengah rendahnya harga lelang gula akibat penerapan HETdan wacana penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) 10% pada harga gula petani.
Menurutnya, penyegelan harusnya baru dilakukan setelah adanya hasil uji laboratorium yang menyatakan kalau gula tersebut tidak layak dikonsumsi manusia.
Hal ini tentu saja melibatkan para ahli yang paham betul soal gula. "Tapi yang kita tahu, pemerintah tidak melakukan itu," sesalnya.
Adig Suwandi, pengamat gula, mengatakan penyegelan 50.000 ton gula oleh Kemdag tidak mempengaruhi ketersediaan gula dalam negeri. Selain karena ada stok dari gula impor, saat ini juga tengah memasuki musim giling yang rata-rata menghasilkan 2,2 juta ton hingga 2,5 juta ton per tahun.
Ia mengatakan, penyegelan ini mengecewakan petani karena tidak bisa menjual gula pada saat uang sebagian dibutuhkan untuk direinvestasikan ke kebun tebu.Sebenarnya gula petani sudah memenuhi SNI ataupun ICUMSA, tapi karena faktor cuaca dan penyimpanan serta distribusi yang lama membuat gula berubah warna dan kualitas menurun.
"Awalnya sih memenuhi SNI, tapi dalam perjalanannya karena warna berubah sehingga tidak lolos SNI," kata Adig.
Jadi karena warna telah berubah, maka solusinya adalah gula tersebut harus direproses lagi. Karena itu, Adig meminta agar industri gula juga instrospeksi diri agar bisa menghasilkan gula yang berkualitas.
Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara Holding Dasuki Amsir mengatakan, pihaknya telah menjalin koordinasi dengan Kemdag terkait penyegelan tersebut. Ia bilang, telah tercapai kesepakatan kalau gula yang tidak memenuhi SNI harus diproses ulang.
"Kami memastikan gula yang dijual akan memenuhi SNI dengan dilengkapi sertfikasi dan berita acaranya," ujarnya.
Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) B. Didiek Prasetyo mengatakan, RNI sedang meneliti gula yang disegel tersebut. "Nanti kami akan jelaskan setelah mendapatkan informasi akurat dari lapangan," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News