Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Pemerintah serta Bank Indonesia (BI) menyepakati pertumbuhan ekonomi pada tahun 2023 berada pada kisaran 5,3% hingga 5,9% year on year (yoy).
Perkiraan pertumbuhan ekonomi pada tahun depan disusun di tengah masih tingginya ketidakpastian dan peningkatan risiko ekonomi global.
Peningkatan risiko ekonomi global bersumber dari tekanan inflasi global yang dipicu oleh kenaikan harga komoditas energi dan pangan akibat perang di Ukraina dan penerapan sanksi pada Rusia yang makin agresif.
Adapun pencapaian pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2023 didorong oleh pulihnya permintaan domestik, masih kuatnya kinerja ekspor serta berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka peningkatan produktivitas melalui akselerasi transformasi ekonomi.
Baca Juga: BI Ingatkan Stagflasi Global Membayangi Prospek Ekonomi Indonesia
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai bahwa target yang disepakati oleh DPR RI dan pemerintah terlalu optimistis.
Pasalnya perekonomian global masih dalam kondisi yang tidak menentu. Contohnya saja negara Sri Lanka yang bangkrut akibat gagal bayar utang , serta Laos yang saat ini juga mengalami hal yang sama.
Sehingga dengan melihat kondisi tersebut, Huda mengatakan bahwa target tersebut terlalu optimis. Terlebih lagi harga energi dan pangan yang bisa tetap tinggi menyebabkan banyak negara berkembang mengalami kesulitan dan utang yang membengkak.
Dirinya memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada tahun depan berada pada range 4,5% hingga 5,0% dengan pertimbangan kondisi global tersebut.
"Jadi saya rasa target tersebut terlalu optimistis," ujar Huda kepada Kontan.co.id, Senin (27/6).
Dihubungi terpisah, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga mengatakan hal yang sama. Ia menilai target tersebut relatif optimistis dan melebihi angka pertumbuhan yang dicapai oleh Indonesia terutama sebelum pandemi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia pada tahun 2019 tumbuh 5,02%. Dan pada tahun 2018, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 5,17%.
"Artinya jika angka ini ingin dicapai menurut saya memang upaya ekstra ordinary perlu dilakukan permerintah di tahun depan. Apalagi kita tahu di tahun depan pemulihan ekonomi global akan dibayangi potensi terjadinya resesi di Amerika Serikat dan dampak turunan dari resesi ke negara-negara lain termasuk di dalamnya negara berkembang seperti Indonesia," kata Yusuf.
Sehingga ideal atau tidaknya, menurutnya tergantung dari upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencapai target tersebut, misalnya dengan mendorong tren pertumbuhan investasi di industri manufaktur melanjutkan trend pertumbuhan positif yang dicapai pada tahun ini.
Dengan asumsi pertumbuhan investasi di sektor manufaktur dapat tumbuh tinggi, maka menurutnya pemerintah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di level yang juga relatif lebih tinggi. Namun, untuk mendorong investasi di sektor manufaktur tidaklah mudah karena pemerintah harus memastikan kebijakan perbaikan struktural ekonomi berjalan lancar di tahun depan.
Selain itu, upaya untuk mendorong daya beli masyarakat segala kelompok pendapatan juga akan mempengaruhi bagaimana pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi di 2023.
Adapun menurutnya, salah satu upaya yang perlu dipertimbangkan adalah mengganggarkan bantuan sosial yang dianggarkan berdasarkan kebutuhan masing-masing daerah atau provinsi.
"Artinya, bantuan sosial perlu ditambah terutama kepada daerah-daerah yang mempunyai kantong-kantong tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran yang relatif lebih tinggi," tuturnya.
Begitu juga dengan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira yang mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi 2023 yang telah disepakati masih overshoot alias optimistis. Dirinya memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2023 berada pada rentang 4 hingga 4,5%.
Baca Juga: Mendorong Pemulihan Ekonomi lewat Integrasi Pembayaran Digital
Hal ini karena masih adanya risiko eksternal seperti sinyal resesi dari Amerika Serikat (AS), tingkat kenaikan suku bunga yang meningkatkan cost of fund pelaku usaha, serta inflasi energi pangan seiring belum dipastikan kapan perang Rusia-Ukraina berakhir.
Bhima mengungkapkan, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi mencapai 5,9%, maka prasyaratnya stimulus fiskal harus jor-joran seperti belanja subsidi energi yang wajib diperlebar.
Selain itu, menurut Bhima, pajak juga perlu relaksasi, pasalnya tidak akan bisa mencapai pertumbuhan ekonomi 5,9% lalu mengejar rasio pajak (tax ratio) pada kisaran 10%.
"Mana yang pemerintah mau pilih, dorong penerimaan negara atau ekonomi tumbuh lebih tinggi dari 2022," tutur Bhima.
Bhima mengungkapkan, yang menjadi PR besar bukan lah mengenai persoalan tumbuh tinggi, melainkan bagaimana dengan kesiapan motor fiskalnya. Menurutnya pertumbuhan tinggi juga berisiko overheating, jika tidak dibarengi anggaran yang cukup untuk pengendalian inflasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News