kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   -13.000   -0,85%
  • USD/IDR 16.200   -20,00   -0,12%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Tantangan Jokowi-Ahok di Jakarta: Pertumbuhan PKL


Senin, 15 Juli 2013 / 12:05 WIB
Tantangan Jokowi-Ahok di Jakarta: Pertumbuhan PKL
ILUSTRASI. Petugas melayani konsumen. Tribun Jabar/Gani Kurniawan


Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Pertumbuhan pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan dengan memanfaatkan fasilitas jalan umum di Ibu Kota Jakarta menjadi tantangan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama. Wilayah yang menjadi perhatian dan fokus penataan oleh dua pimpinan Jakarta itu adalah kawasan Pasar Minggu, Jatinegara, dan Tanah Abang.

Jokowi menginginkan agar para pedagang kaki lima yang berjualan di jalan tidak digusur tetapi ditata. Salah satu program Pemprov DKI Jakarta bagi PKL misalnya menyediakan lokasi binaan (lokbin) bagi para PKL atau memasukkan mereka di lokasi baru di dalam pasar sehingga bisa berjualan lebih tertib.

Namun yang menjadi masalah, rata-rata pedagang enggan masuk ke dalam pasar lantaran takut kehilangan pelanggan mereka. Pengamat kebijakan publik, Andrinof Chaniago, mengatakan, masalah PKL memang merupakan tantangan yang biasa terjadi di kota besar.

"Yang paling berat memang kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung karena tingkat kedatangan PKL-nya tinggi," kata Andrinof saat dihubungi Kompas.com, Senin (15/7/2013).

Di wilayah Jatinegara, Jakarta Timur, bahkan ada rencana menjadikan bangunan sekolah untuk dialihfungsikan menjadi tempat PKL. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta juga membuat kebijakan PKL yang berjualan haruslah warga yang memiliki KTP DKI Jakarta.

Menurut Andrinof, hal tersebut memang perlu dilakukan untuk mengatasi perkembangan PKL yang muncul dari luar Jakarta. "Menurut saya itu sah, tetapi bukan berarti yang tidak punya KTP DKI itu tidak sah berjualan. Namun, mereka harus mengurus hak domisili dan syarat administrasi yang diperlukan," ujar Andrinof.

Ia mengatakan, Pemprov DKI Jakarta juga perlu melakukan pendataan dengan jumlah PKL yang ada saat ini. Selain itu, PKL yang ada juga harus didorong untuk membentuk organisasi di kalangan mereka. Misalnya saja, lokasi binaan PKL percontohan di Daan Mogot, Jakarta Barat.

"Penataannya lewat cara pengorganisasian. Mereka harus didorong membentuk organisasi atau perkumpulan, tapi dengan aturan yang harus diikuti, yang sesuai dengan kepentingan umum. Misalnya, mereka harus terdata, tidak boleh menambah anggota. Kalau jumlah pasti diketahui, maka mudah untuk mengatur. Yang bikin sulit, munculnya PKL baru. Oleh karenanya, jumlahnya harus dikunci," ungkap Andrinof. (Robertus Belarminus/Kompas.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×