Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Ketua Umum Partai Golkar hasil Musyawarah Nasional Bali 2014 Aburizal Bakrie tercatat pernah menentang gagasan musyawarah nasional sebelum 2019 sebagai solusi konflik kepengurusan di partai itu.
Namun, dalam Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar yang ditutup Senin lalu, Aburizal berubah sikap dengan mendorong pelaksanaan munas luar biasa pada tahun ini.
Ketika mayoritas Dewan Pengurus Daerah Golkar tingkat I (provinsi) di partai itu menolak munas luar biasa, Aburizal bahkan turun tangan untuk meyakinkan mereka pentingnya muanslub.
Wakil Ketua Panitia Penyelenggara Rapimnas Yorrys Raweyai melihat, sikap mayoritas pengurus DPD I Golkar itu sebagai dinamika dan strategi politik (Kompas, 26/1).
Pernyataan itu menjelaskan keyakinan sejumlah elite Partai Golkar beberapa saat sebelum rapimnas bahwa forum itu tetap akan memutuskan munas luar biasa.
Pasalnya, keputusan terakhir tetap diserahkan kepada Aburizal dan Aburizal ingin munas luar biasa.
Selama rapimnas, Aburizal juga menyatakan tak akan maju lagi sebagai Ketua Umum Golkar saat munas luar biasa.
"Kader kita ada banyak. Saya katakan, saya tidak akan tinggalkan Partai Golkar. Saya akan bersama saudara-saudara, memberi masukan bagi pengurus yang akan datang," kata Aburizal.
Apa makna pernyataan itu?
Ketua Wantim
Salah satu wacana yang muncul di rapimnas adalah gagasan penguatan kewenangan Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Partai.
Hal itu direncanakan akan direalisasikan lewat revisi anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai di forum munas luar biasa.
Ke depan, Ketua Wantim akan berwenang menetapkan calon presiden dan wakil presiden dari Golkar untuk bertarung di Pemilu 2019.
Ketua Wantim kepengurusan Golkar hasil Munas Bali, yang kini dijabat Akbar Tandjung, hanya berwenang memberi saran dan pertimbangan kepada Dewan Pengurus Pusat Partai Golkar, baik diminta maupun tidak.
Setelah tak jadi Ketua Umum, ada wacana Aburizal menjabat Ketua Wantim. Dalam lobi Aburizal dengan DPD I di rapimnas, Senin lalu, beberapa pimpinan DPD I telah menyatakan perlunya Aburizal diberi posisi penting jika ia tidak lagi menjadi Ketua Umum, seperti ketua Wantim.
Pada zaman Orde Baru, Golkar sempat mempunyai jabatan Ketua Dewan Pembina. Akbar Tandjung dalam bukunya The Golkar Way menuliskan, Dewan Pembina yang dijabat Soeharto merupakan institusi internal yang sangat berkuasa pada era Orde Baru.
Awalnya, institusi itu hanya berfungsi memberi masukan dan pertimbangan ke DPP. Namun, pada perkembangannya, Dewan Pembina makin terlibat dalam urusan Golkar yang substansial. Keputusan di internal Golkar harus melalui restu dan izin Soeharto.
Saat Munas Golkar 1983, Soeharto tercatat mendorong perubahan AD/ART partai untuk menguatkan kewenangan Dewan Pembina.
Dewan Pembina diberi kewenangan membatalkan kebijaksanaan/keputusan DPP Golkar jika dinilai menyimpang dan membekukan sementara DPP Golkar dalam keadaan mendesak.
Saat itu, Soeharto juga dapat menentukan dan menetapkan kepengurusan DPP Golkar. Ia menyarankan secara langsung ataupun tidak langsung sejumlah nama calon Ketua Umum Golkar.
Berkaca dari sejarah tersebut, Wakil Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Jakarta Priyo Budi Santoso mengkhawatirkan, gagasan perluasan kewenangan Ketua Wantim pada era Aburizal akan berujung pada praktik dominasi yang pernah terjadi di era Orde Baru.
"Wacana (memperluas kewenangan Ketua Wantim) itu sebenarnya sah, tetapi jangan sampai kembali ke zaman sebelumnya, dengan ketua Dewan Pembina yang amat berkuasa di bawah Pak Harto," kata Priyo.
Aburizal sejauh ini belum mau berkomentar banyak terkait kemungkinan dirinya menjabat Ketua Wantim.
"Kita serahkan saja kepada pengurus yang baru. Pasti akan ada (revisi AD/ART untuk perluasan kewenangan Wantim), tetapi saya tidak tahu yang mana yang mau dilakukan," katanya.
Dukungan
Dalam rapimnas, Golkar juga mendeklarasikan dukungan kepada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Bahkan, Yorrys Raweyai menyebut, keputusan utama yang dihasilkan dalam penutupan rapimnas adalah dukungan Golkar terhadap pemerintah.
Penyelenggaraan munas luar biasa untuk islah partai adalah urusan nomor dua.
Meski telah dibacakan oleh Yorrys, Aburizal mengatakan, dukungan ke pemerintah baru akan disahkan dalam munas luar biasa.
Dengan demikian, masih ada waktu empat hingga lima bulan ke depan sampai Golkar benar-benar resmi mendukung pemerintah di munas luar biasa.
Terlepas dari mekanisme prosedur yang berlaku bahwa sikap politik Golkar memang harus diresmikan melalui munas, Aburizal terlihat masih menunggu sejumlah hal.
Sejumlah hal memang masih jadi pertanyaan terkait munas luar biasa. Misalnya, apakah pemerintah akan memenuhi janjinya untuk memberi dasar legalitas bagi penyelenggaraan munas luar biasa?
Selain itu, kepengurusan mana yang akan disahkan pemerintah sebagai dasar menyelenggarakan munas luar biasa?
Aburizal mengaku tidak mempermasalahkan kepengurusan mana yang akan disahkan pemerintah sebagai penyelenggara munas luar biasa.
"Ada Munas Riau. Namun, kalau Bali sudah ada pengesahannya, ya Bali. Putusan akhirnya, (munas luar biasa) tetap akan dibuat oleh DPP Golkar yang dipimpin saya dan Idrus," katanya.
Terlepas dari pernyataan Aburizal di atas, masalah munas luar biasa hanya sebagian dari tanda yang tersisa seusai Rapimnas Golkar.
Masih ada pertanyaan lain seperti apakah ada janji lain seperti jabatan di pemerintahan untuk Golkar kubu Aburizal, terkait dengan langkah mereka mendukung pemerintah?
Waktu akan menjawab berbagai pertanyaan itu. Satu hal yang pasti, dalam politik tidak ada makan siang gratis. (Agnes Theodora)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













