kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Tampak tanda-tanda paceklik di tanah surga


Rabu, 03 April 2013 / 15:59 WIB
Tampak tanda-tanda paceklik di tanah surga
ILUSTRASI. Pedagang menyortir cabai rawit di Pasar Induk Rau, Serang, Banten, Rabu (14/7/2021). Pedagang pasar sebut harga minyak goreng dan cabai melonjak


Reporter: Anastasia Lilin Y, Andri Indradie | Editor: Imanuel Alexander

Jakarta. Kenaikan harga bawang putih menguak adanya hubungan yang kurang mesra antar instansi pemerintah. Khususnya antara Kementerian Pertanian (Kemtan) dan Kementerian Perdagangan (Kemdag). Kedua lembaga ini terkesan kurang sigap mengantisipasi lonjakan harga bawang putih yang sudah sangat tinggi. Tak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengungkapkan kekesalannya atas kenaikan drastis harga bawang. “Urusan bawang merah dan putih ini sudah berhari-hari tapi kurang cepat, konklusif, dan kurang nyata penanganannya,” ujar Presiden, pertengahan Maret lalu.

Kekesalan Presiden ini masuk akal. Komoditas pangan ini, bawang putih, tidak termasuk dalam 13 produk hortikultura yang dihentikan impornya selama Januari–Juni 2013. Rupanya, stok bawang putih impor menumpuk di pelabuhan lantaran tidak mengantongi izin keluar.

Masalah harga bawang yang melambung ini terjadi kala kenaikan harga daging sapi impor belum selesai. Eh, sekarang giliran harga cabai membubung tinggi. Harga cabai rawit merah naik dua kali lipat lebih dari kisaran harga yang normal, yaitu Rp 25.000–Rp 30.000 per kilogram (kg).

Toh, Kemdag tetap berkilah. Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri Kemdag Bachrul Chairi mengatakan, lonjakan harga cabai semata masalah produksi dan distribusi. Ia berdalih, rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) cabai sudah dialokasikan hingga 60.000 ton. “Yang sudah keluar hampir 50% atau 29.000 ton,” tutur Bachrul.

Hasanuddin Ibrahim, Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian, juga bersikukuh kenaikan harga bawang dan cabai tidak sama. Harga bawang putih naik karena ada gap antara kebutuhan dan pasokan selama kuartal I 2013. Kebutuhan bawang putih sebesar 400.000 ton per tahun, sekitar 95% dipenuhi oleh barang impor.

Keadaan itu semakin memburuk sejak akhir tahun lalu importir tiba-tiba berlomba-lomba mengimpor bumbu pasca penetapan aturan impor produk hortikultura. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 60/M-DAG/PER/9/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura.

Alhasil, sejak berlaku 28 September 2012, aturan itu melejitkan jumlah perusahaan yang mendaftar menjadi importir. Jumlah perusahaan yang mendaftar sebagai importir melonjak dari biasanya 20 hingga 30 perusahaan saja per tahun, menjadi 131 perusahaan. Total pengajuan impor bawang pun melejit hingga 4 juta ton.

Dari permohonan kuota bawang impor sebesar itu, pemerintah hanya menerbitkan izin impor sebesar 450.000 ton. Dengan alasan total konsumsi bawang putih nasional memang sebesar itu. Jadi kalau dibagi rata, satu perusahaan kebagian sekitar 3,4 ton.

Sayangnya, dari 131 perusahaan yang sudah mendapat restu mengimpor tersebut, sebagian besar tak bisa segera mengimpor karena belum mengantongi surat RIPH dari Kementerian Perdagangan. Meski sudah diajukan sejak akhir tahun lalu, RIPH baru keluar Maret sehingga dari Januari hingga Februari stok bawang putih kosong. “Ini sistem baru jadi belumsempurna tapi ke depan tak boleh terjadi lagi,” ujar Hasanudin.

Sementara penyebab kenaikan harga bawang merah adalah lahan produksi bawang merah seperti Brebes terkena banjir. Akibatnya, produksi bawang merah terganggu. Selain itu, ada kecenderungan dari petani untuk mengalihkan lahan pertanian bawang merah menjadi areal tanam padi.

Pasalnya, dengan dengan risiko lebih kecil, hasil yang didapat dari bercocok padi lebih menguntungkan. Konsumsi bawang merah nasional sendiri 1 juta ton per tahun dan 90% dipenuhi dari dalam negeri.

Cerita tentang lonjakan harga cabai rawit lain lagi. Hasanuddin mengatakan hanya cabai rawit merah yang naik. Sementara jenis cabai yang lain tidak. Kebutuhan cabai rawit meningkat sementara porsi produksi cabai rawit nasional dibandingkan cabai lain hanya 10%.

Sebagai informasi, data Badan Pusat Statistik menyebut ada enam varian cabai, yakni cabai rawit merah dan hijau, cabai keriting merah dan hijau, serta cabai besar merah dan hijau. Harga cabai rawit, kata Hasanuddin, bisa bias lantaran pangsa pasarnya cuma 10%.

Sedangkan harga cabai keriting dan cabai besar untuk industri yang justru pangsa pasarnya 80%, relatif stabil. Produksi tahunan cabai keriting, cabai besar, dan cabai rawit saat ini rata-rata 1,5 juta ton.

Prognosa produksi 2013 sekitar 2%-3%. Siklus produksi kuartal I sebesar 20%, sementara kuartal II dan kuartal III mencapai 60%. Sisanya, di kuartal IV, sebesar 20% karena memasuki musim hujan sehingga petani memperkecil luas tanam untuk mengurangi risiko.

Harga tak efisien

Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Dadi Sudiyana membenarkan, kenaikan harga cabai belakangan ini karena pasokan yang tidak sebanding permintaan. Sebab pasokan minim ini karena gagal panen di kalangan petani. “Cuaca ekstrem kalau siang panas sekali dan tiba-tiba hujan tidak menguntungkan tanaman cabai,” kata Dadi.

Harga jual cabai merah besar dan cabai keriting di tataran petani saat ini Rp 12.000/kg. Padahal pada periode yang sama tahun lalu, harga tertinggi cabai di petani Rp 8.000 per kg.

Jika siklus cuaca normal, mestinya Februari hingga Maret adalah masa panen raya sehingga harga cabai mestinya terendah. Lalu harga cabai tertinggi mestinya terjadi pada bulan November hingga Desember. Sebab pada Juli hingga Agustus musim kemarau sehingga produksi cabai menyusut.

Kendala lain yang dihadapi petani, ungkap Dadi, rantai perdagangan dari petani hingga ke pembeli bisa sangat panjang.Jalurnya sebagai berikut: petani-pengumpul-bandar besar daerah atau sentra-distributor pasar besar-pedagang pasar induk–distributor pasar sedang–pedagang pasar sedang–distributor pasar kecil–pedagang pasar kecil–warung–pembeli akhir. “Kalangan pedagang tetap bisa meraih untung bahkan sampai 100%,” ungkap Dadi.

Namun, dalam kondisi harga sedang naik, mungkin saja ada pihak-pihak yang sengaja ingin memanfaatkan situasi. Alhasil tren kenaikan harga cabai bisa menggerakkan para spekulan nakal. Meski bila dibandingkan dengan bawang putih, gerak spekulan cabai kalah leluasa.

Sebab, masa ketahanan cabai lebih pendek ketimbang bawang putih jadi tidak bisa disimpan lama. Paling lama, stok cabai segar bisa bertahan seminggu. Dengan alasan tersebut, Dadi melihat spekulan tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap tren kenaikan harga cabai ketimbang produksi yang terganggu.

Oleh karena itu Dadi berharap pemerintah bisa lebih berkonsentrasi mengatasi kendala petani terlebih dahulu dalam hal memproduksi cabai. Antara lain dengan memberikan pompa air agar tanaman cabai bisa melewati musim kemarau pada Juli dan Agustus mendatang. “Kalau stok terbatas itu mestinya yang dilihat bagaimana produksinya, bukan malah merencanakan membuka keran impor yang makin menekan petani,” kata Dadi.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Kedelai Indonesia Andreas Vincent Wenas, menilai, semua persolan harga ini sebenarnya sangat sederhana. Fenomena ini tak akan terjadi jika pemerintah punya data yang konsisten dan sesuai dengan kondisi lapangan yang sebenarnya.

Selain itu, pemerintah juga seharusnya punya grand design komoditas pangan yang jelas. Penataan ini sesegera mungkin harus dilakukan pemerintah mengingat dua tahun lagi berlaku pasar bersama ASEAN alias ASEAN Economic Community (AEC). “Pertanyaannya, sebenarnya kita mau dan serius atau tidak terhadap rencana kedaulatan pangan? Kalau serius, saya kira pemerintah tahu, kok, harus bagaimana,” tegasnya.

Jadi, sepertinya, kita memang butuh pengelola tanah surga yang tidak hanya mau bekerja secara konsisten, tetapi juga cerdas dan peka. Ingat, kan syair lagu Koes Plus? Seharusnya tongkat dan batu bisa jadi tanaman di negeri ini.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 27 - XVII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×