Reporter: Anastasia Lilin Y, Arief Ardiansyah | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Sekilas seperti tak ada yang luar biasa dengan Pasar Kemang, Bogor, dibandingkan dengan pasar tradisional lain kala KONTAN mengunjungi tempat ini, Rabu (27/3)kemarin. Riuh suara orang adu tawar serta obrolan berbumbu gelak tawa para kuli menghidupkan pusat jual-beli sayurmayur dan palawija di Kota Hujan tersebut. Ratusan pedagang telah berjubel di sini sejak tahun 2000.
Pasar Kemang selalu ramai dikunjungi pemasok dan pembeli saban hari. Pada petang hari, mayoritas pengunjung adalah pemasok sayur-mayur dan palawija dari luar Bogor. Tak heran kalau pada waktu tersebut, puluhan mobil bak terbuka berpelat nomor luar Bogor hilir mudik. Sejumlah sopir mobil tersebut mengaku datang jauh-jauh dari Brebes, Jawa Tengah, serta Blitar dan Jember, Jawa Timur. Mereka mengangkut bawang merah, cabai, kentang, jengkol, kacang panjang, wortel dan lain-lain.
Malam hari hingga subuh, giliran para pembeli yang berbelanja. Dari pembeli kelas eceran hingga pembeli partai besar seperti pedagang di pasar kecil, tengkulak dan centeng yang bertujuan untuk menjual kembali belanjaan mereka. Centeng adalah pembeli yang mengambil barang tanpa membayar kepada para pedagang di pasar induk ini. Pembayaran baru dilakukan setelah mereka menjual produk yang dibeli.
Pasar Kemang adalah satu dari beberapa pasar induk yang menjadi serbuan pemasok dari luar daerah dan pembeli partai besar. Pasar induk lain yang tak kalah ramai adalah Pasar Kramat Jati di Jakarta, Pasar Tanah Tinggi di Tangerang, Pasar Cibitung di Bekasi, dan Pasar Caringin di Bandung.
Suasana yang tergambar di dalam Pasar Kramat Jati kala KONTAN kunjungi pada Kamis (28/3) juga tak berbeda dengan Pasar Kemang. Namun kalau dari sisi luas, Kramat Jati lebih besar. Keramaian juga tak hanya terjadi di dalam lingkungan pasar tapi di luar. Maklum, Ibu Kota memang lebih padat dibandingkan Bogor.
Meski dari luar tampak baikbaik saja tapi sebenarnya tidak demikian dengan yang dirasakan para pedagang di pasarpasar tersebut. Khususnya pedagang bawang dan cabai. Mereka mengaku reli harga bawang dan cabai rawit merah justru lebih banyak mendatangkan empedu ketimbang madu.
Kardi, penjual cabai rawit merah dan bawang merah di Pasar Kemang, mengatakan pedagang seperti dirinya justru menanggung risiko paling besar. Bahkan lebih besar dari petani. Alasan dia, risiko petani hanya ada di proses tanam. Jika ada kendala dalam penanaman maka risiko petani adalah produksi berkurang.
Menurut Kardi, saat ini penentu harga justru beralih di tangan petani dan bukan lagi pemain pasar seperti pedagang. “Demi mengejar harga tinggi, petani bawang merah ada yang memanen sebelum masak atau sebelum 75 hari sehingga panenan tak baik dan cepat busuk. Jadinya pedagang juga yang rugi, karena demi stok mau tak mau harus dibeli,” kata Kardi.
Ramai-ramai merugi
Risiko rugi juga disebabkan oleh fl uktuasi harga yang sangat cepat. Kardi mengaku sempat membeli bawang merah dari pemasok seharga Rp 43.000 per kg. Ia tak menyangka, sehari setelah pembelian, harga jual turun menjadi Rp 33.000/kg. Akibatnya, dia merugi hingga Rp 40 juta. Dari cabai rawit merah Kardi juga mengalamai kerugian sampai Rp 10 juta.
Dus, bawang merah maupun cabai adalah komoditas yang tak tahan lama. Jadi kalau tak laku dalam tempo tiga hari, ia akan membusuk. “Kami pedagang ini justru lebih takut dengan harga yang naik daripada harga turun karena risikonya lebih besar kalau pas harga tinggi begini,” ungkap Kardi.
Ompong, penjual cabai rawit lain di Pasar Kemang, menguatkan pernyataan Kardi. Meski tak menyebut total kerugian tapi dia bilang tren kenaikan harga yang dibayangi fluktuasi yang sangat cepat, yakni bisa sehari sekali, menyebabkan pedagang kerap dilema menetapkan harga jual. Dia mencontohkan pada Selasa (26/3) membeli cabai rawit merah seharga Rp 45.000/kg. Sehari setelahnya, harga jual pasaran ambles menjadi Rp 33.000/kg.
Fatimah, penjual bawang putih yang tak lain adalah satu dari dua pemasok besar bawang putih untuk seluruh wilayah Bogor, juga berbagi cerita pilu. Ketika harga bawang putih di Bogor melejit, perempuan 36 tahun ini sempat berbelanja hingga 3 ton bawang putih di harga Rp 50.000/kg.
Apesnya, dua hari berselang, harga langsung turun di angka Rp 30.000/kg. Hukum pasar pun berbicara, sehingga Fatimah mesti membanting harga jual. Itu berarti kerugian yang ia tanggung sebesar Rp 60 juta.
Fatimah membeberkan keuntungan yang dia cecap kala harga bawang putih membumbung dua bulan terakhir ini hanya Rp 1.000/kg. “Saya tidak bisa mengambil untung tinggi daripada nanti tidak diterima pasar,” kata dia. Sebab dalam dua bulan terakhir, terbukti, sejumlah langganannya mengurangi kapasitas pembelian.
Fatimah mengambil contoh, modal yang dia keluarkan untuk membeli 1 kg bawang putih saat bertemu KONTAN adalah Rp 18.000/kg dari pedagang perantara. Harga jual dia pada hari yang sama kepada pembeli adalah Rp 19.000/kg. Alhasill omzet per hari turun antara 30%–40% kerap dia alami belakangan ini.
Namun Fatimah mengaku tak tahu berapa harga beli pedagang perantara tersebut ke pedagang sebelumnya. Dalam rantai distribusi bawang putih, Fatimah mengaku menjadi tangan ketiga dari importir yang mendatangkan bawang putih dari China.
Raflis, pedagang bawang putih di Pasar Kramat Jati, menguatkan cerita Fatimah. Dia mengaku sempat membeli bawang putih jenis cutting–bawang berkualitas bagus–di harga Rp 55.000/kg. Eh, selang sehari, agen menurunkan harga menjadi Rp 40.000/kg. Raflis pun harus rela gigit jari merugi Rp 15.000/kg. “Tapi tak banyak, cuma sekitar satu kuintal,” katanya tersenyum kecut.
Seminggu terakhir, harga baang dan cabai memang menunjukkan penurunan. Harga bawang putih cutting di Pasar Kramat Jati, saat KONTAN datang, ada di kisaran Rp 35.000–Rp 38.000 per kg. Adapun harga bawang banci–istilah untuk bawang dengan kualitas di bawah cutting yang dijual dalam bentuk bonggol ada di kisaran Rp 20.000–Rp 25.000/kg.
Raflis dan penjual bawang putih lain di Pasar Kramat Jati, yakni Antoni, mengaku kulakan bawang putih cutting maupun banci masing-masing di kisaran Rp 29.000–Rp 30.000/kg dan Rp 16.000–Rp 17.000/kg. Artinya, mereka mengambil untung rata-rata 30%–40% dari harga beli. Raflis beralasan mereka masih harus menanggung ongkos pembersihan bawang sekitar 15% dari harga beli.
Mengerem stok
Adapun harga cabai rawit merah di Pasar Kemang ada di kisaran Rp 33.000/kg, turun dari harga tertinggi yang sempat menyentuh Rp 55.000/kg.
Meski harga sudah berangsur tiarap, tapi para pedagang mengaku harga belum aman karena peluang naik-turun drastis masih mungkin terjadi. Sadar dengan risiko besar jika menyetok banyak, para pedagang pun kompak memilih mengerem stok untuk meminimalisasi risiko. Setidaknya hingga harga benar-benar dianggap stabil.
Fatimah mengatakan saat harga beli dari pedagang perantara Rp 10.000/kg, dia berani belanja hingga satu kontainer bawang putih atau sebanyak 29 ton. Sejak harga naik-turun, dia memilih hanya mendatangkan satu mobil bak saja, atau sebanyak 5 ton bawang putih.
Anton, pedagang bawang putih di Pasar Kramat Jati melakukan strategi yang sama dengan Fatimah. Jika biasanya dia membeli 100 karung, yang per karung berisikan 20 kg tiap hari, kini di masa harga naik turun, ia memilih aman. Anton berniat memangkas stok hingga separuh dari angka normal.
Menurut Antoni, lebih baik tiap hari kulakan daripada kejeblos punya stok bawang di harga tinggi. Setiap hari, dia biasa menjual 50 karung. “Saat harga naik, penjualan juga turun karena daya beli masyarakat terbatas,” kata dia.
Pedagang cabai rawit seperti Kardi juga memangkas 50% belanjanya. Sudah sejak awal Maret dia hanya membeli 3 ton cabai rawit merah dari pemasok. Padahal biasanya dia belanja sampai 7,5 ton saban hari.
Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Dadi Sudiyana punya argumen lain. Dia sangsi margin pedagang tipis. Dia bersikukuh, petani adalah pihak yang paling merugi. Buktinya, harga jual di pasaran rata-rata dua hingga tiga kali lipat harga petani.
Dadi bilang rantai perdagangan dari petani hingga pembeli sangat panjang. Menurut dia jalurnya adalah petani-pengumpul-bandar besar daerah atau sentra-distributor pasar besarpedagang pasar induk-distributor pasar sedang-pedagang pasar sedang-distributor pasar kecil-pedagang pasar kecil-warung-pembeli akhir. “Di kalangan pedagang tetap bisa meraih untung besar bahkan sampai 100%,” ungkap Dadi.
Jadi, siapa yang sebenarnya diuntungkan dengan harga tinggi selama ini?
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 27 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News