Reporter: Arief Ardiansyah, Anastasia Lilin Y, Andri Indradie | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Nyaris setiap tahun masyarakat Indonesia merasakan kenaikan harga bahan pangan. Silih berganti bahan pangan melonjak harganya, mirip hasil kocokan arisan. Tahun lalu, harga kedelai melonjak tak terduga. Tahun ini, giliran harga bawang merah, bawang putih, kedelai, cabai rawit merah, dan daging sapi.
Lonjakan harga bawang merah dan bawang putih yang terjadi selama beberapa pekan ini, misalnya, sungguh luar biasa. Harga dua macam bawang itu masing-masing melonjak tiga kali lipat dan empat kali lipat! Hasil pantauan KONTAN pada Kamis (28/3) di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta Timur, harga bawang merah masih di kisaran Rp 45.000–Rp 55.000 per kilogram (kg). Bandingkan, sebelumnya, harga bawang merah anteng di Rp 18.000 per kg.
Harga bawang putih yang biasanya juga cuma Rp 18.000 an per kg, malah sempat melonjak tak karuan hingga Rp 72.000 per kg. Pada titik tertinggi itu, pedagang di Pasar Induk Kramat Jati sempat kulakan dari importir di harga Rp 55.000 per kg. “Kenaikan harga bawang kali ini sungguh-sungguh luar biasa keterlaluan,” kata Antoni, seorang pedagang di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta.
Lagi-lagi infrastruktur
Tahun lalu, kita juga merasakan kenaikan harga beras. Beras kualitas medium yang umumnya menyandang banderol Rp 6.000 per kg, saat itu harus ditebus pada harga Rp 9.000 per kg. Bahkan, harga kedelai yang melompat 35% menjadi Rp 8.000 per kg membuat perajin tempe dan tahu menutup produksi.
Fakta silih berganti lonjakan harga bahan pangan ini menimbulkan pertanyaan ihwal keberadaan pemerintah dalam mengamankan pasokan pangan bagi warganya. Nuansa adanya faktor “kesengajaan” setiap kali harga bahan pangan melonjak begitu kental. Sayang, sejauh ini tak ada bukti kuat.
Hasanuddin Ibrahim, Direktur Jenderal (Dirjen) Hortikultura Kementerian Pertanian, membenarkan fakta adanya lonjakan harga bahan pangan yang sama atau berbeda, setiap tahun. Tapi, dia mengingatkan, masing-masing lonjakan bersifat kasuistis karena memiliki penyebab yang berbeda-beda.
Ada beberapa penyebab lonjakan harga bahan pangan yang biasa muncul di Indonesia. Cuaca atau curah hujan yang terlalu tinggi, hari raya yang jatuh pada periode panen rendah, kesenjangan ketersediaan dan permintaan, persoalan distribusi, peralihan lahan pertanian untuk peruntukan lain, hingga pengaruh eksternal seperti kenaikan harga bahan bakar minyak bisa menjadi faktor pendongkrak harga pangan. Selain itu, dia mengingatkan, kondisi demografis Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan ribuan pulau yang dimiliki juga menjadi pendorong kenaikan tersebut. “Sekali-sekali akan terjadi ketimpangan seperti itu. Tapi, bukti empiris menunjukkan, kenaikan ini tidak terjadi terlalu lama,” kata Hasanuddin.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi mencontohkan penyebab kenaikan harga cabai rawit merah yang terjadi akhirakhir ini adalah dampak kendala produksi dan distribusi. Hasanuddin juga mendapati proses distribusi pangan tidak efisien. Realita ini membuat harga di tingkat petani dan pasar berselisih berkisar dua–tiga kali lipat. Ini karena infrastruktur yang kurang baik.
Proses distribusi yang kurang efi sien ini tak cuma disebabkan jeleknya infrastruktur. Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia Dadi Sudiyana mengatakan, rantai perdagangan juga sangat panjang. “Ujungnya, yang untung pedagang, bukan petani,” kata Dadi.
Tak ada visi yang jelas
Aneka penyebab lonjakan itu tidak menutup mata Ngadiran, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI). Beberapa faktor di atas memang bisa melambungkan harga bahan pangan. “Tapi, saya meyakini ada semacam permainan besar antara pemerintah dan para pengusaha yang punya peran besar di rantai pasar,” kata Ngadiran.
Tak lupa dia juga mengkritik pemerintah yang tidak memiliki visi dalam jangka panjang serta kebijakan penataan yang jelas. Ini membuat pemerintah terkesan tak bertaji di hadapan para pengusaha tersebut. Taruh misal, pemerintah tidak mampu menata tata niaga, mulai dari petani, penggarap, importir, distributor, sampai ke pedagang ritel. Ketiadaan tata niaga yang jelas ini membuka kesempatan para pengusaha untuk “bermain” dalam kerangka mencukupi kebutuhan pangan masyarakat.
Permainan ini sudah ada sejak dulu. Tapi, akhir-akhir ini lebih mudah karena kewibawaan pemerintah sudah jauh berkurang. Apalagi menjelang Pemilihan Umum seperti saat ini. Iklim politik memungkinkan banyak “penumpang gelap” dari kalangan partai politik untuk masuk semua di rantai pasar komoditas pangan.
Namun, pemerintah terkesan cuci tangan dan memilih menyalahkan para pedagang saja. Bentuk permainan yang terjadi itu, ungkap Hasanuddin, berupa kemungkinan adanya sistem pasar oligopoli yang memungkinkan beberapa pedagang menentukan harga untuk produk pangan impor. Makanya, dia menyambut baik upaya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang tengah menyelidiki dugaan permainan ini.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPPU Ahmad Junaidi mengatakan, KPPU menyelidiki dugaan kartel pembentukan harga dan ketersediaan stok komoditas pangan itu lantaran harga yang naik tidak wajar. Ada dua kasus lonjakan harga komoditas pangan yang dalam penyelidikan KPPU, yaitu kenaikan harga daging sapi dan bawang merah. “Satu importir daging sapi dan dua importir bawang putih sudah kami mintai keterangan,” kata Ahmad.
Hasilnya mana?.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 27 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News