Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah membangun sejumlah infrastruktur sepanjang sepuluh tahun terakhir. Baik infrastruktur untuk konektivitas, layanan dasar, pangan, energi dan industri.
Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR Abdul Muis mengatakan, pembangunan infrastruktur dibutuhkan untuk mengejar ketertinggalan indeks infrastruktur yang menjadi landasan bagi peningkatan perekonomian.
Tidak hanya infrastruktur yang dibangun Kementerian PUPR, tetapi juga infrastruktur energi, transportasi, pertanian, permukiman serta teknologi informasi dan komunikasi.
Menurut Abdul, pembangunan infrastruktur telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Ia bilang, untuk mendukung konektivitas guna menekan biaya logistik pada kurun 2014-2024 telah diselesaikan pembangunan jalan tol baru sepanjang 2.700 km.
"Sehingga jalan tol operasional menjadi 3.480 km (sepanjang 780 km tol telah operasional dari 1978-2014)," ujar Abdul dalam keterangan pers, Kamis (1/8).
Baca Juga: Jokowi Sebut Pembangunan Infrastruktur Mampu Tingkatkan Daya Saing
Lalu, untuk jalan nasional, pada 2015-2024 dibangun 6.000 km jalan baru, utamanya jalan trans dan perbatasan Papua, Kalimantan, NTT, dan Jalur Pantai Selatan Jawa.
Kemudian, pembangunan 61 bendungan selama 2014-2024, di mana 43 bendungan telah selesai untuk menjamin ketersediaan air dan ketahanan pangan nasional.
"Tahun ini ada 13 bendungan lagi selesai, sisa 5 bendungan selesai awal 2025," kata Abdul.
Dengan tambahan bendungan selesai telah menambah daerah irigasi premium sebesar 396.000 hektare (ha), tambahan air baku 52.000 liter/detik dan potensi PLTA sebesar 255 MW.
Khusus untuk daerah irigasi, telah dilaksanakan pembangunan bendung dan jaringan irigasi baru seluas 1,18 juta ha, serta dilaksanakan rehabilitasi bendung dan jaringan irigasi eksisting seluas 4,38 juta ha (dari total 7,5 juta ha sawah) pada 2014 hingga 2024.
"Sehingga dengan tambahan pasokan air dari bendungan baru, pembangunan irigasi baru serta rehab irigasi eksisting, indeks pertanaman meningkat dari sekitar 1,4 (tahun 2014) menjadi 2,5 (tahun 2024)," ujar Abdul.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, permasalahan infrastruktur bukan hanya pada hasil akhir penurunan biaya logistik.
"Itupun juga bisa dibantah karena terjadi penurunan indeks daya saing logistik dari Bank Dunia, Indonesia turun 17 peringkat," ujar Bhima.
Baca Juga: Presiden Jokowi Apresiasi Pembangunan Jembatan Pulau Balang
Bhima menyoroti proses perencanaan logistik infrastruktur yang dibangun belum optimal mampu mendorong kecepatan pengiriman barang dari industri ke pelabuhan, terutama yang berorientasi pada ekspor.
Kemudian, masih terdapat jalan tol yang ternyata didominasi kendaraan pribadi. Sementara angkutan truknya masih melewati jalan arteri. Hal ini kemungkinan karena mahalnya tarif tol.
Kemudian, bisa dilihat juga multiplier effect pembangunan infrastruktur kepada industri dan jasa konstruksi nasional.
Karena beberapa tahun belakangan terjadi lonjakan impor pada mesin yang ditengarai dampak masifnya proyek infrastruktur.
"Jadi ini salah satu PR, misalnya kereta cepat Jakarta-Bandung itu banyak mesin diperoleh dari impor," ucap Bhima.
Selain itu, pada saat masifnya pembangunan infrastruktur, terdapat permasalahan sub kontraktor mengeluh soal pembayaran yang terlambat.
Padahal infrastruktur diharapkan bisa menggerakkan pelaku usaha swasta. Baik yang skala UMKM maupun jasa pendukung infrastruktur yang menengah besar.
"Tapi mungkin karena ada permasalahan likuiditas BUMN karya, pembayarannya jadi tertunda, jadi justru disesalkan juga dalam pembangunan infrastruktur," pungkas Bhima.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News