kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45895,55   2,12   0.24%
  • EMAS1.333.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Susah nian jualan bensin non-subsidi


Rabu, 31 Oktober 2012 / 15:32 WIB
Susah nian jualan bensin non-subsidi
ILUSTRASI. Kartu Kredit Mandiri Diskon 17% Semua Produk di Traveloka Periode Akhir Agustus


Reporter: Amal Ihsan Hadian | Editor: Imanuel Alexander

Harga BBM bersubsidi yang selisih jauh, lebih dari dua kali lipat, dari BBM nonsubsidi membuat pom bensin asing kembang kempis. Ada SPBU yang mulai berguguran. Agar bisa bertahan, harga premium harus naik mendekati keekonomian.

Stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) itu tampak sepi. Tak ada mobil yang mengisi bensin. Tak ada antrean sepeda motor yang menunggu dilayani. Seng menutupi pom bensin yang didominasi warna hijau tosca itu.

Seorang satpam yang menunggui pom bensin itu bilang, SPBU Petronas tersebut sudah tutup. “Sejak awal September lalu tutupnya,” kata petugas yang tidak mau disebut namanya ini. Menurut dia, ketika dulu masih beroperasi, pom bensin yang berlokasi di Jalan Veteran Raya, Bintaro, Jakarta Selatan, itu memang sepi.

Saban hari, rata-rata cuma 10 mobil dan sepeda motor yang mengisi bensin di SPBU itu. Padahal, pompa bensin ini beroperasi 18 jam dalam sehari. Karena pengunjung minim, petugas pom bensin cuma mengoperasikan dua mesin pompa dari 12 unit yang ada.

Pom bensin Petronas di Bintaro itu tidak sendirian. SPBU Petronas lain, seperti di Cibubur, Fatmawati, Bumi Serpong Damai, Kawasan Industri Jababeka, dan Medan, Sumatra Utara, saat ini juga terpaksa harus tutup. Pasalnya, PT Petronas Niaga Indonesia menghentikan pasokan bensinnya mulai 31 Agustus 2012.

Tak pelak, pengusaha SPBU Petronas kelabakan. Mereka pun mengajukan somasi ke Petronas. Menurut Florianus Sp Sangsun, kuasa hukum 8 pengusaha SPBU Petronas, para pemilik SPBU keberatan dengan cara Petronas yang menghentikan suplai bahan bakar minyak (BBM) ke jaringan SPBU secara sepihak.

Pada pertengahan Agustus 2012, Petronas Niaga mengirim surat ke SPBU. Isinya: pemberitahuan penghentian suplai bensin. Pasokan benar-benar berhenti pada 31 Agustus 2012. Para pengusaha mencoba bertanya lewat surat kepada Petronas, cuma penjelasan yang ditunggu tak kunjung datang.

Akibat berhentinya pasokan BBM dari Petronas, delapan SPBU tersebut tidak bisa beroperasi sehingga merugi. Padahal, pengusaha SPBU sudah mengikat perjanjian pemenuhan pasokan BBM dengan Petronas selama lima tahun ke depan. Namun, tenggat belum usai, suplai sudah dihentikan.

Cuma, Florianus bilang, sudah ada pertemuan Kamis (25/10) lalu dengan Petronas Niaga, yang intinya kedua pihak setuju untuk menyelesaikan persoalan ini dengan baik. Tapi, dia tidak mau mengungkapkan poin kesepahamannya.

Harga sulit bersaing

Menurut Umi Asngadah, Direktur Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi Kementerian nergi Sumber Daya Mineral (ESDM), ada 15 dari 19 SPBU Petronas yang tersebar di wilayah Jabodetabek dan Medan yang terpaksa tutup. Karena, penjualan seret sehingga tidak bisa menutupi biaya operasi perusahaan. Petronas Niaga kabarnya akan fokus ke sektor bisnisnya yang lain.

Sayang, Petronas Niaga belum mau berkomentar. “Kami akan menggelar konferensi pers atau merilis pernyataan pers dalam waktu dekat,” kata Bayu Anggraeni, Media Relations Petronas Niaga Indonesia. Permasalahan di Petronas sesungguhnya menunjukkan, bahwa bisnis retail BBM nonsubsidi tidak semudah yang dibayangkan banyak orang. Kebanyakan orang menilai, usaha jualan BBM adalah salah satu bisnis yang enggak ada matinya.

Soalnya, mulai dari rumahtangga sampai industri pasti membutuhkan bahan bakar secara kontinu untuk melancarkan kegiatan operasionalnya. Jangan heran, banyak pihaktertarik untuk adu peruntungan di bisnis pom bensin. Saat ini, selain Pertamina sebagai penguasa pasar, ada tiga perusahaan asing yaitu Shell, Petronas, dan Total yang menjajal usaha SPBU sejak tahun 2005 silam.

Namun, hingga kini peruntungan pengecer asing itu tidak baik. Petronas menjadi perusahaan yang pertama tumbang. Sejak membangun SPBU pertamanya pada November 2005, hingga kini Shell memiliki 65 pom bensin, dengan 58 pom bensin berada di wilayah Jabodetabek dan tujuh tersebar di Jawa Timur. Adapun Total saat ini memiliki 14 pom bensin di Jabodetabek. Sedangkan Petronas praktis saat ini hanya memiliki empat pom bensin.

Bandingkan dengan SPBU Pertamina yang mencapai 4.227 gerai di seluruh Indonesia. Dari seluruh SPBU tersebut, yang 100% murni dimiliki Pertamina kurang dari 10%-nya. Sisanya dengan sistem kemitraan. Selain sulit bersaing dari sisi jumlah SPBU, pom bensin milik asing juga menghadapi tantangan dari sisi harga. Maklum, Pertamina punya kebijakan memasang harga Pertamax lebih murah antara Rp 50 hingga Rp 100 per liter untuk bensin dengan kualitas sejenis di SPBU yang letaknya berdekatan dengan pom bensin milik asing.

Dengan jumlah SPBU Pertamina yang begitu banyak, tentu sangat mungkin ada SPBU Petronas atau Shell yang berada tidak jauh dari SPBU Pertamina. Ujungnya, ketika Pertamina menurunkan harga Pertamax, konsumen yang hendak mengisi bensin di SPBU Shell, Petronas, atau Total jadi berkurang.

Lawan premium

Makanya, sekarang pergerakan harga di gerai bensin asing kerap mengikuti gerak kenaikan harga Pertamax. Setiap kali Pertamax naik, maka harga BBM di pom bensin asing juga naik. Dan, begitu Pertamax turun, harga bensin di SPBU asing juga bakal melorot. Cuma sejatinya, Pertamax bukan produk Pertamina yang menjadi musuh utama SPBU asing. Musuh abadi SPBU asing
sebenarnya, apalagi kalau bukan premium, si bensin bersubsidi.

Selisih harga yang jauh dengan BBM nonsubsidi membuat banyak pemilik kendaraan memilih banting setir ke Pertamina dan membiarkan kendaraannya menenggak premium. Tak jadi soal, apakah kualitas BBM bersubsidi yang katanya kurang bagus itu cocok dengan spesifi kasi mesin mobil atau tidak.
 
Sepanjang harganya terpaut jauh dengan bensin nonsubsidi, selama itu pula konsumen terus memburu premium. Ini barangkali sesuatu yang kurang disadari oleh pemain asing ketika masuk bisnis SPBU. Yakni, konsumen Indonesia masih price sensitive dalam urusan bensin. “Lebih dari 60% konsumsi BBM adalah BBM bersubsidi,” kata Anggota Komite Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) Ibrahim Hasyim.

Ibrahim menilai, salah satu penyebab sulitnya SPBU asing berkembang termasuk Petronas, lantaran harga bensin bersubsidi yang masih jauh dari bensin nonsubsidi. Pertimbangan bisnis para pemain asing membuka SPBU di Indonesia, karena perkiraan harga BBM bersubsidi yang bakal mendekati harga keekonomian. Kalau harganya mendekati harga BBM nonsubsidi, persaingan dengan bensin bersubsidi tidak terlalu berat. Tinggal SPBU bermain dari sisi kualitas. “Tapi ternyata, mereka lihat harga BBM bersubsidi tidak naik-naik,” ujar Ibrahim.

Jadi, kenaikan harga BBM bersubsidi bakal menguntungkan SPBU asing? Sri Wahyu Endah, Manajer Kinerja Sosial dan Komunikasi Eksternal Shell Indonesia, dan Rulianti Syahrul, Brand & Communication Executive Total Oil Indonesia, menolak berkomentar soal itu. Yang jelas, Shell menilai, prospek bisnis bensin eceran di Indonesia masih cerah. Indikatornya, “Key market Indonesia sangat besar dengan pertumbuhan ekonomi yang terus melaju cukup signifi kan,” kata Sri.

Adapun Total akan tetap fokus pada upaya meningkatkan kualitas layanan SPBU mereka. Salah satunya ialah, dengan membuat komunitas Voila Total Community. Dengan bergabung ke komunitas, konsumen bisa menikmati program dan event promosi yang menarik dari SPBU Total yang menawarkan hadiah sepanjang tahun.


***Sumber : KONTAN MINGGUAN 05 - XVII, 2012 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Accounting Mischief Practical Business Acumen

[X]
×