Reporter: Dikky Setiawan, Herry Prasetyo | Editor: Imanuel Alexander
Tampaknya, langkah pemerintah mengerek harga BBM bersubsidi bakal mulus. Partai politik mendukung rencana tersebut. Tapi, angin dukungan bisa saja berubah saat pemerintah akan menaikkan harga premium dan solar tahun depan.
Pemerintah sudah mengantongi senjata ampuh untuk mengerek harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tahun depan. Namanya: Pasal 8 ayat (10) Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN) Tahun 2013. Dengan beleid ini, kelak pemerintah tak perlu lagi meminta restu dari DPR untuk menaikkan harga jual premium dan solar.
Alhasil, keputusan untuk mendongkrak harga BBM bersubsidi bisa lahir tanpa proses yang berlarut-larut. Bola panas untuk menaikkan harga BBM bersubsidi di tahun ular sudah bergulir. Sebab, harga minyak mentah dunia tahun depan kemungkinan besar bakal melonjak tinggi. Buntutnya, target harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang dipatok pemerintah dalam APBN 2013 sebesar US$ 100 per barel bakal meleset.
Begitu juga kuota BBM bersubsidi sebanyak 46,01 juta kiloliter, kemungkinan akan terlampaui. Jika salah satu dari parameter harga BBM bersubsidi ini meleset, pemerintah punya dasar untuk menaikkan harga premium dan solar. “Kami coba tahun depan naik bertahap tiga kali, tapi belum tahu mulai kapan,” kata Rudi Rubiandini, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Problemnya, apakah pemerintah benar-benar berani mengambil langkah yang tidak populer itu? Dan, apakah partai politik pendukung pemerintah akan merestuinya? Maklum, Pemilu 2014 di depan mata. Tentu, partai politik tidak mau citranya jelek di mata rakyat sehingga kehilangan suara dalam pesta demokrasi akbar lima tahunan tersebut.
Sutan Bhatoegana, Ketua Partai Demokrat, tegas mengatakan, sebagai partai pendukung utama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, partainya mendukung setiap kebijakan pemerintah termasuk kenaikan harga BBM bersubsidi. Pasal 8 ayat (10) UU APBN 2012 jelas memberi kewenangan penuh kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi.
Menurut Sutan, dengan harga BBM bersubsidi sekarang, yang terjadi adalah banyak penyelundupan dan penimbunan BBM bersubsidi yang kemudian dijual kepada industri. Padahal, industri seharusnya mengkonsumsi BBM nonsubsidi dengan harga pasar. “Yang dirugikan adalah kita semua karena rakyat menjadi kekurangan BBM bersubsidi,” tegas dia.
Memang, secara etika, pemerintah harus meminta izin ke DPR saat akan menaikkan harga BBM bersubsidi. Namun, Sutan bilang, pemerintah bisa saja menaikkan harga tanpa meminta persetujuan dewan. Zaman Orde Baru, kenaikan harga BBM tak perlu dukungan Senayan, tempat wakil rakyat berkantor. Dan, tidak ada kekacauan terjadi pasca kenaikan harga BBM . “Sekarang, kenaikan harga BBM banyak dipolitisasi sehingga rakyat yang menderita,” imbuh Sutan.
Dukungan terhadap langkah pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi juga datang dari Partai Golkar. “Kami sudah menyerahkan keputusan kenaikan harga BBM ke pemerintah,” kata Satya Wira Yudha, anggota Fraksi Golkar. Tapi, pemerintah tentu tak bisa terlalu awal bergembira.
Bisa jadi, meski sekarang mendukung, saat rencana kenaikan tahun depan digelar, Golkar bisa balik menolak. Tengok saja bagaimana Golkar akhirnya menolak kenaikan harga BBM dalam sidang paripurna DPR Maret lalu, meski awalnya menyatakan dukungan.
Harus tanpa BLT
Cuma, Satya berkilah, penolakan Golkar waktu itu lantaran tekanan sosial dan politik dari masyarakat yang besar kepada DPR. Karena itu, ia menyarankan, kalau pemerintah tahun depan mau menaikkan harga BBM bersubsidi, pemerintah mesti menyosialisasikan rencana tersebut dengan baik kepada masyarakat luas.
Lalu, bagaimana dengan sikap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang sejak awal menolak kehadiran Pasal 8 ayat (10) UU APBN? Sebetulnya, Effendi Simbolon, Ketua PDIP, partainya tidak keberatan bila pemerintah ingin menaikkan harga BBM subsidi. Yang penting, tidak ada udang di balik batu pada kebijakan itu.
Effendi memberi contoh, biasanya, kenaikan harga BBM bersubsidi selalu dibarengi dengan program bantuan langsung tunai (BLT). Alasannya, kenaikan harga BBM menciptakan masyarakat miskin baru. Nah, Effendi menilai, kebijakan BLT merupakan strategi kampanye politik demi memenangkan Pemilu 2014. “Sekalian saja program BLT sampai April 2014, memang niatnya mau menyogok, kok,” ujarnya.
Kalau sekadar menaikkan harga BBM bersubsidi tanpa embel-embel BLT, Effendi menegaskan, PDI-P jelas tidak bisa membendungnya. Soalnya, tidak mungkin negara harus terbebani subsidi BBM. Tapi, jangan diserahkan ke mekanisme pasar karena itu melanggar konstitusi. Bila kebijakan pemerintah melanggar konstitusi, tambah dia, partainya akan melakukan perlawanan di parlemen atau luar parlemen.
Kemal Azis Stamboel, anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mengingatkan, dalam mengambil kebijakan yang menyangkut hajat hidup rakyat, pemerintah seyogianya melalui mekanisme konsultasi dengan DPR. Jika pemerintah berani mengambil keputusan sendiri, konsekuensinya juga harus diterima sendiri. “Dalam kondisi kritis di mana kebijakan harus diambil, pemerintah harus punya kemampuan mengambil keputusan. Lebih baik DPR dilibatkan,” sarannya.
Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2012, pemerintah menyatakan, penyesuaian harga jual eceran BBM bersubsidi merupakan langkah terakhir yang akan mereka lakukan, kalau beban subsidi BBM sudah memberatkan APBN. Sehingga, mengganggu keberlanjutan fi skal dalam jangka pendek maupun jangka menengah.
Catatan saja, dalam kurun waktu 2007-2012, pemerintah sudah melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi sebanyak empat kali. Yakni, pada Mei 2008, awal Desember 2008, pertengahan Desember 2008, dan Januari 2009. Pada Mei 2008 atau setahun menjelang Pemilu 2009, rata-rata harga BBM bersubsidi sebesar 28,7%.
Untung, harga minyak dunia turun menjelang akhir tahun 2008. Sehingga, secara bertahap, awal Desember 2008, pertengahan Desember 2008, dan Januari 2009, pemerintah menurunkan harga BBM. Keputusan kenaikan harga BBM bersubsidi tahun depan memang ada di tangan pemerintah.
Namun kelihatannya, campur tangan politik bakal tetap ada di dalamnya. “Cita-citanya, kan, BBM naik menjadi Rp 6.000 per liter, kalau semua pihak sepakat,” kata Rudi. Jadi, kita tunggu saja, apakah drama politik di Senayan akan berlangsung lagi seperti yang terjadi Maret tahun ini.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 05 - XVII, 2012 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News