Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah dan Badan Anggaran DPR RI menyepakati alokasi subsidi energi pada tahun 2024 sebesar Rp 189,10 triliun. Alokasi ini lebih tinggi dari usulan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 185,87 triliun.
Alokasi subsidi energi tersebut terdiri dari subsidi jenis bahan bakar minyak (BBM) tertentu dan LPG Tabung 3 Kg sebesar Rp 113,27 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp 75,8 triliun.
Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Wahyu Utomo mengatakan, alokasi anggaran subsidi energi tersebut belum memasukkan peralihan subsidi pertalite (RON 90) menjadi pertamax green 92.
"Yang sudah dibahas di APBN 2024 itu belum pertimbangkan Pertamax," ujar Wahyu dalam acara Mini Talkshow Bedah RAPBN 2024 di Jakarta, Rabu (20/9).
Untuk diketahui, subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan LPG Tabung 3 Kg tahun 2024 disepakati sebesar Rp 113,27 triliun, atau lebih tinggi dari usulan RAPBN 2024. Sementara itu, volume LPG disepakati 8,03 juta MT dan volume BBM disepakati sebesar 19,58 juta KL.
Baca Juga: Segara Institute: Anggaran Subsidi KUR Pemborosan APBN
Sebagai informasi, pemerintah dikabarkan mewacanakan untuk menghapus bahan bakar minyak (BBM) varian Pertalite dan menggantikannya dengan varian pertamax bersubsidi dengan nama Pertamax Green 92.
Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, wacana tersebut berpotensi membuat anggaran subsidi membengkak. Oleh karena itu, ia menilai tidak ada urgensi untuk penghapusan Pertalite dan mengalihkan subsidinya ke Pertamax Green.
"Pertamax Green saya rasa tidak perlu disubsidi. Cukup Pertalite saja. Anggaran subsidi membengkak," ujar Huda kepada Kontan.co.id, Senin (4/9).
Terlebih lagi, kata dia, konsumen Pertamax Green merupakan orang kaya, sehingga pengalihan subsidinya dinilai kurang tepat. Di sisi lain, wacana tersebut juga akan membuat angka inflasi meningkat tajam lantaran selisih Pertalite dengan Pertamax 92 yang cukup jauh.
Apalagi di tengah perlambatan global, maka kebijakan tersebut akan berbahaya bagi perekonomian Indonesia lantaran bisa menggerus daya beli masyarakat.
"Maka dari itu, mempertahankan pertalite dengan harga saat menjadi penting bagi pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News