Reporter: Jane Aprilyani | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Usaha Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam memerangi Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing berbuah manis. Pasalnya, usaha tersebut tidak hanya mengusir para pencuri ikan tapi juga mampu meningkatkan stok ikan lestari atau maximum sustainable yield (MSY) di lautan Indonesia.
Berdasarkan hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan (Kajiskan), MSY Indonesia naik dari 7,3 juta ton pada 2015, menjadi 9,93 juta ton pada 2016, dan 12,541 juta ton pada 2017.
Hasil tersebut sekaligus mematahkan pandangan yang menyebut kebijakan penanggulangan illegal fishing dengan penenggelaman dan moratorium kapal eks-asing di Indonesia tidak mendatangkan manfaat yang jelas.
Peningkatan MSY ini juga membawa dampak terhadap nilai tukar nelayan (NTN) yang mencapai 110 dan nilai tukar usaha perikanan (NTUP) Nelayan yang mencapai 120 pada tahun 2016. Nilai ekspor meningkat 5,8 persen dari US$ 3,94 juta (2015) menjadi US$ 4,17 juta (2016).
Selain itu, terjadi pula penurunan impor hingga 70%, di mana tahun 2016, kuota impor yang terpakai hanya 20% dari kuota yang telah disediakan.
Peningkatan juga terjadi pada konsumsi ikan masyarakat Indonesia dari 37,2 kg per kapita tahun 2014, menjadi 41,1 kg per kapita tahun 2015, dan 43,9 kg per kapita tahun 2016. Pemerintah bahkan menaikkan target konsumsi ikan menjadi 46 kg per kapita tahun ini, dan 50 kg per kapita 2019 mendatang.
“Tapi pemberantasan illegal fishing ini tidak bisa dibilang sukses karena masih terus ada pencurian ikan, dan kesuksesan itu tidak akan pernah ada accomplished final karena yang mencuri tetap ada saja, modusnya berbeda-beda,” ujar Susi, Jumat (16/6).
Ia mencontohkan modus penggunaan kapal dalam negeri tetapi mempekerjakan nelayan asing yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia masih sering terjadi. Begitu pula dengan praktik bongkar muat atau transshipment di laut lepas oleh kapal-kapal asing yang terpantau melalui Global Fishing Watch.
“Jadi memang benar kalau ikan itu tidak beragama dan tidak berkebangsaan. Tetapi daerah teritorial EEZ (exclusive economic zone) kita telah ada dalam UNCLOS (The United Nations Convention on The Law of The Sea) dan aturan umumnya. Jadi kalau ikan itu berada di laut kita, di bawah EEZ kita, hak milik kita,” tambah Susi.
Ia membantah jika kebijakan yang ditetapkan KKP mematikan industri perikanan akibat pelarangan kapal-kapal eks-asing beroperasi. “Jadi industri mana yang dimaksud? Kalau industri yang dimaksud adalah kapal-kapal ikan eks-asing atau kapal asing yang ada di Indonesia yang berhenti dan maunya (diizinkan) sekarang, ya tidak bisa. Kenapa? Karena kapal-kapal itu adalah kapal-kapal bukti alat kejahatan, masa disuruh pakai jalan, ya tidak boleh,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News