Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
STATUS INDONESIA - Status Indonesia mengalami perubahan menjadi negara berpendapatan menengah ke atas. Hal ini dinilai akan meningkatkan kepercayaan global. Namun di sisi lain, hal tersebut juga memiliki konsekuensi.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky mengatakan, secara umum tidak terdapat dampak negatif dari masuknya Indonesia jadi negara berpendapatan menengah atas. Sebab, hal itu hanya merupakan status afirmasi dari kondisi perekonomian nasional terkini.
"Status Indonesia yang menjadi upper middle countries memang sebetulnya enggak ada untung rugi yang signifikan," kata dia, kepada Kompas.com, Rabu (5/7/2023).
Dia menambahkan, "Dalam arti masuk ke kelompok tertentu adalah pertanda atau achievement Indonesia berada di stage development yang mana."
Akan tetapi, Riefky menyebutkan, status sebagai negara berpendapatan menengah atas akan membuat Indonesia tidak lagi berhak mendapatkan sejumlah bantuan atau hibah internasional.
Baca Juga: Membidik Pembiayaan Utang Lebih Murah
Pasalnya, sejumlah bantuan internasional diberikan dengan melihat kondisi ekonomi suatu negara.
"Kemungkinan ada beberapa bantuan internasional yang kita sudah tidak lagi eligible," ujarnya.
Akan tetapi, Riefky menilai, hal itu bukan menjadi suatu kerugian bagi Indonesia. Mengingat Indonesia saat ini sudah lebih mandiri dalam mengalokasikan anggaran belanja guna menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Sementara itu, Ekonom Celios Bhima Yudhistira menjelaskan, dengan tidak lagi menerima bantuan internasional, Indonesia akan lebih bergantung terhadap pembiayaan skema pasar.
"Indonesia juga akan lebih banyak meminjam dari skema pasar bukan menggunakan skema hibah dan skema pinjaman lunak (soft loan) yang bersifat bilateral-multilateral," tuturnya.
Baca Juga: Laju Inflasi Rendah, Emiten Meraup Berkah
Selain terkait pembiayaan, Bhima menyebutkan, konsekuensi lain dari naiknya status Indonesia ialah adanya potensi evaluasi perjanjian kerja sama dagang.
Salah satunya ialah fasilitas perdagangan berupa pembebasan tarif bea masuk, yang diberikan secara unilateral oleh Pemerintah AS kepada negara-negara berkembang, yakni Generalized System of Preferences atau GSP.
"Indonesia bisa di evaluasi karena dianggap Indonesia sudah tidak layak mendapat fasilitas penurunan tarif dan bea masuk ke negara maju," ucap Bhima.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Naik Kelas, Indonesia Tidak Lagi Berhak Dapatkan Sejumlah Bantuan Internasional"
Penulis : Rully R. Ramli
Editor : Akhdi Martin Pratama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News