Reporter: Grace Olivia | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Standard Chartered Bank turut memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun 2019 dari sebelumnya 3,8% menjadi 3,6%. Meski pertumbuhan ekonomi melambat, potensi resesi yang banyak dikhawatirkan para pelaku ekonomi diyakini tidak akan terjadi di tahun ini.
Proyeksi tersebut disampaikan dalam acara tahunan Global Research Briefing, Kamis (24/1). Melalui laporan Global Focus - Economic Outlook 2019, bank yang berbasis di London ini memaparkan prediksinya terhadap kondisi perekonomian dunia sepajang tahun ini.
Head of ASEAN Economic Research Standard Chartered Edward Lee menyampaikan, perlambatan ekonomi dunia disebabkan oleh kombinasi sejumlah faktor. Pertama, pengetatan likuiditas global akibat kebijakan moneter bank-bank sentral dunia. Kedua, melambatnya kontribusi perdagangan dunia terhadap pertumbuhan ekonomi global.
"Sebelum krisis finansial 2008, kontribusi perdagangan dunia terhadap pertumbuhan ekonomi global pernah mencapai 31%. Lalu, jatuh saat krisis dan mengalami recover, namun cenderung melambat dan saat ini hanya berkisar 28%," terang Edward dalam konferensi pers, Kamis (24/1).
Ketiga, perlambatan ekonomi dunia juga disebabkan oleh faktor demografis. Edward menyebut, kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi dunia pada 2020 mendatang diprediksi negatif. Lantas, penting bagi negara-negara untuk meningkatkan produktivitas sumber daya manusianya.
Lebih lanjut, Edward memaparkan, sepanjang tahun ini perekonomian dunia masih dibayangi oleh tiga risiko utama. Antara lain, risiko perang dagang Amerika Serikat dan China yang penuh ketidakpastian.
"Masalahnya, persoalan dagang AS-China ini bukan hanya tentang nilai defisitnya, tapi ada substansi lain yang lebih tidak menentu, seperti hak properti intelektual dan sebagainya," tutur Edward.
Tambah lagi, saat ini China juga tengah mengalami penyeimbangan (rebalancing) ekonomi yang menyebabkan laju pertumbuhan negara ini melambat. Sementara, China berkotribusi 33% pada pertumbuhan ekonomi dunia sehingga perlambatan ekonominya otomatis ikut menyeret pertumbuhan negara-negara lain.
Kendati begitu, Edwarn berpendapat, perlambatan ekonomi China tak serta merta akibat perang dagang dengan AS. "Ada dua faktor lain yang sebenarnya bisa dikotrol oleh China, yaitu pengurangan utang (deleveraging) dan pembatasan properti. Kalau China mau boost lagi pertumbuhannya, mereka sebenarnya bisa saja melonggarkan kedua kebijakan ini," ujarnya.
Selain China, risiko lain terhadap perekonomian global juga berasal dari kondisi politik di Eropa. Terutama, terkait keberlanjutan kesepakatan Brexit yang akan sangat berpengaruh terhadap peta perekonomian kawasan Eropa ke depan.
Adapun, Edward meyakini, perlambatan ekonomi dunia sepanjang tahun ini tak mengarah pada resesi seperti yang banyak dikhawatirkan. Sebab, gejala prasyarat yang pada umumnya terlihat sebelum resesi terjadi belum sepenuhnya tampak.
"Orang banyak mengira resesi akan terjadi karena melihat flat-nya kurva US Treasury. Namun, saat ini rasio probabilitas resesi yang kami hitung baru sekitar 21%. Memang meningkat, tapi kemungkinannya belum sampai 40% seperti terakhir kali resesi terjadi," terang Edward.
Selain itu, Standard Chartered juga belum melihat indikator utama resesi lainnya seperti adanya booming harga dan pertumbuhan ekonomi yang negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News