Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan kenaikan tarif iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk kelas I dan kelas II lebih tinggi dibandingkan tarif yang diusulkan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
"Tarif kelas II dan kelas I jumlah yang diusulkan oleh DJSN menurut kami perlu dinaikkan. Pertama ini memberikan signal bahwa sebetulnya yang ingin diberikan pemerintah kepada universal health coverage adalah standar kelas 3. sehingga kalau mau naik kelas ada konsekuensinya," tutur Sri Mulyani di hadapan anggota komisi IX dan XI DPR, Selasa (27/8).
Sri Mulyani membeberkan, tarif iuran JKN untuk kelas II diusulkan sebesar Rp 110.000 per bulan per orang, lebih tinggi dari usul DJSN yang sebesar Rp 75.000 per bulan per orang.
Baca Juga: Sri Mulyani: Usul kenaikan iuran JKN untuk PBI direalisasikan Agustus
Sementara, iuran JKN untuk kelas I diusulkan sebesar Rp 160.000, lebih tinggi dari usul DJSN yang sebesar Rp 120.000 per bulan per orang. Tarif ini diusulkan berlaku mulai Januari 2020.
Saat ini, tarif iuran JKN yang ditetapkan untuk kelas II sebesar Rp 51.000 per bulan per orang dan tarif untuk kelas I sebesar Rp 80.000 per bulan per orang.
Sementara, untuk tarif iuran BPJS kelas III, Sri Mulyani mengatakan usulan DJSN yang sebesar Rp 42.000 per bulan per orang masih bisa diadopsi.
Sri Mulyani membeberkan, kenaikan tarif ini dengan mempertimbangkan tingkat utilisasi seperti rawat inap dan rawat jalan akan mengalami kenaikan dalam beberapa waktu ke depan.
Baca Juga: Siap-siap, iuran BPJS Kesehatan naik hingga 64%
Tak hanya itu, dia pun mengatakan aspek publik harus diperhatikan. Tarif ini pun bertujuan untuk pemerataan. Dia mengatakan porsi tarif JKN ini akan memberi manfaat lebih besar kepada masyarakat untuk mengakses fasilitas kesehatan tingkat primer dan fasilitas kesehatan tingkat lanjut.
"Masyarakat yang tinggal di perkotaan di mana faislitas primer dan tingkat lanjutnya lebih banyak, mereka akan lebih mungkin untuk mengonsumsi lebih banyak. Sedangkan masyarakat di terpencil, yang untuk jalan ke puskesmas saja jauh. Mereka kemungkinan untuk bisa mengakses jasa tersebut menjadi lebih kecil," tutur Sri Mulyani.
Berdasarkan perhitungan Kementerian Keuangan, bila seluruh komponen BPJS Kesehatan tak berubah, dan dengan kenaikan tarif ini, maka BPJS Kesehatan bisa mencatat surplus sebesar Rp 17,2 triliun pada 2020.
Baca Juga: Dewan Jaminan Sosial Nasional usulkan kenaikan iuran JKN ke DPR
Surplus tersebut akan bisa menutup defisit di 2019 yang sebagiannya sudah ditutup oleh tambahan suntikan dana pemerintah berdasarkan tarif baru.
Berdasarkan hitungan Kemenkeu, dengan tarif baru, tahun ini akan ada tambahan dana sebesar Rp 18,57 triliun atau mengurangi defisit BPJS yang sebesar Rp 32,84 triliun. Namun masih ada sisa defisit sebesar Rp 14,27 triliun.
"Ditutup oleh tambahan injeksi pemerintah berdasarkan tarif baru, tetapi masih sisa Rp 14 triliun, ditutup dengan Rp 17,2 triliun dia langsung dia punya sisa Rp 3 triliun," kata Sri Mulyani.
Baca Juga: Mitra Keluarga (MIKA) Perbesar Pendapatan dari Pasien PBJS Kesehatan
Sri Mulyani melanjutkan, BPJS Kesehatan pun akan mencatat surplus pada 2021 hingga 2023, di mana surplus 2021 akan surplus Rp 11,59 triliun, 2022 akan mencatat surplus Rp 8 triliun, dan pada 2023 akan terdapat surplus Rp 4,1 triliun. "Kenapa lebih kecil karena jumlah peserta dan utilisasinya makin meningkat," kata Sri Mulyani.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News