Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui, rasio perpajakan Indonesia saat ini masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di Kawasan ASEAN, juga negara G20.
“Indonesia rasio perpajakannya masih rendah kalau kita membandingkannya dengan negara ASEAN, OECD, negara G20,” tutur Sri Mulyani dalam agenda Mandiri Investment Forum, Selasa (5/3).
Untuk diketahui, rasio perpajakan Indonesia terus membaik sejalan dengan pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19.
Baca Juga: Otak Atik Anggaran Program Ikonik Prabowo-Gibran
Pada 2023 rasio perpajakan RI mencapai 10,21% terhadap produk domestik bruto (PDB). Sedikit lebih rendah dari 2022 yang sebesar 10,39% apabila dihitung dengan memasukkan penerimaan dari Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
Meski begitu, Ia menyebut untuk meningkatkan rasio perpajakan memang tidak mudah. Dibutuhkan upaya ekstra baik itu di tingkat internal Ditjen Pajak, dan juga bekerja sama dengan global.
Bendahara keuangan negara ini juga menambahkan, untuk mencapai rasio pajak ke level tinggi yang diinginkan, perlu melewati beberapa elemen.
Seperti legislasi Undang-Undang (UU) yang perlu diamanatkan konstitusi. Sebab jika tanpa adanya UU maka Ditjen Pajak tidak bisa mengumpulkan pajak.
Baca Juga: Target Defisit RAPBN 2025 Melebar Hingga 2,8%, Utang Diprediksi Bakal Menjadi Andalan
Di samping itu, jika dibandingkan dengan negara maju dan negara tetangga lainnya, terdapat banyak aturan dan fasilitas di Indonesia yang menikmati pengecualian pungutan perpajakan. Hal tersebut juga yang menyebabkan rasio pajak Indonesia masih kalah jauh jika dibandingkan negara lain.
“Beberapa sektor ekonomi yang tidak di pajak apakah atas nama kemiskinan, kesetaraan, penghasilan tidak kena pajak, Indonesia sangat tinggi untuk kategori ini jika dibandingkan dengan yang lebih kaya negaranya seperti negara tetangga sekitar kita. Penghasilan non pajak masih sangat tinggi sekali,” ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News