Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah saat ini tengah menyiapkan mekanisme Energy Transition Mechanism (ETM) untuk melengkapi rencana penerapan karbon pricing dan mendorong transisi energi di Indonesia.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan mekanisme ETM harus didesain dengan adil dan terjangkau. Adapun Ia mengungkapkan bahwa biaya terbesar untuk penanganan climate change adalah pada sektor energi dan transportasi.
Sementara itu, Indonesia adalah penghasil coal/batubara terbesar di dunia, dengan lebih dari 60% komposisi bauran energi Indonesia, data ini berbasis batubara yaitu PLTU.
“Kalau Indonesia akan menurunkan CO2 atau bahkan menuju yang disebut net zero emission, maka kita harus bisa mentransformasikan energi kita menuju kepada energi hijau. Ini artinya sumber energi yang berasal dari batubara atau fossil fuels seperti minyak dan gas akan secara bertahap ditransformasikan,” tutur Sri Mulyani dalam keterangannya, Senin (28/3).
Baca Juga: Jokowi Resmikan SPKLU Ultra Fast Charging untuk KTT G20
Ia mengatakan, hal ini akan menimbulkan tantangan yang sangat kompleks. Di satu sisi Indonesia punya sumberdaya batubara dan masih menggunakan PLTU dimana kebutuhan penggunaan energi akan terus meningkat.
Adapun, menurutnya jika Indonesia akan mengurangi penggunaan batubara dan PLTU, maka Indonesia harus bisa mengompensasikannya dengan ETM yang lebih tinggi.
“Jadi di dalam desain ETM ini sekarang dibahas mengenai bagaimana mengurangi porsi dari batubara tanpa menyebabkan Indonesia harus membayar energi lebih mahal. Ini yang disebut affordability menjadi penting, bagaimana kita bisa mendesain transformasi energi menuju ke hijau, tapi di sisi lain ini menimbulkan keadilan,” lanjut Ani, sapaan akrabnya.
Umumnya, menurut Sri Mulyani, jika dilihat secara makro, negara-negara lain bahkan negara maju pun masih menggunakan batubara di sektor energinya. Negara Eropa, Jepang, Korea, China, India dan bahkan Amerika Serikat (AS) masih menggunakan batubara dan memiliki coalbase yang sangat besar dalam penggunaan energi mereka.
Maka dari itu, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa walaupun masih banyak negara lain yang masih bergantung pada penggunaan batubara, namun Indonesia juga tetap menyiapkan ETM yang strategis. Indonesia tidak boleh terlalu cepat yang kemudian bisa menyebabkan ekonomi terdisrupsi, tapi Indonesia juga tidak boleh terlalu terlambat supaya Indonesia sudah siap ketika dunia mulai menerapkan ETM.
Baca Juga: Bakrie Group Gandeng BritishVolt Kembangkan Baterai Kendaraan Listrik
Sehingga, dengan begitu saat ini perlu dilakukan kerjasama dengan berbagai lembaga. Momentum seperti COP-26 di Glasgow di UK kemarin, menurutnya Indonesia termasuk yang memberikan showcase dan bahkan sampai memberikan technical proposal.
“Ini supaya mereka bisa melihat bahwa negara seperti Indonesia sangat serius (mendesain ETM) dengan menyiapkan policy, kerangka kebijakan, kita membuat mekanisme pasarnya, dan kita punya instrumen carbon tax-nya.
Nanti ini semuanya siap untuk bisa dipakai pada saat dunia memang sudah bersepakat dan kita secara bersama-sama akan melakukan pentahapan secara sebaik mungkin,” jelasnya.
Baca Juga: Teknologi Baterai Makin Maju, Pembangkit EBT PLN Naik Besar-besaran Mulai 2028
Sri Mulyani juga mengatakan bahwa sektor swasta di Indonesia termasuk Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) juga sangat antusias untuk ikut di dalam menjalankan transisi energi ini.
Antusiasme ini akan memberikan suatu kesempatan bagi Indonesia untuk melakukan dan mendesain ETM bersama-sama dengan semua pihak.
Menurutnya, pemerintah, masyarakat, pelaku usaha dan lembaga keuangan harus mendiskusikan desain ETM ini secara kolaboratif.
Saat ini, OJK sudah mulai membuat taksonomi hijau maka hal ini juga akan diikuti oleh seluruh negara ASEAN yang membuat taksonomi dan aturan-aturan di pasar keuangan dan pasar modal. Sehingga ini bisa memfasilitasi perdagangan karbon tidak hanya secara domestik tapi juga bisa secara global.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News