Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) memuat sejumlah aturan baru, salah satunya terkait mekanisme restorative justice dalam penanganan tindak pidana di sektor keuangan.
Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, angkat bicara mengenai masuknya filosofi keadilan restoratif dalam RUU tersebut.
Menurutnya, pendekatan hukum ini sejalan dengan prinsip penegakan hukum yang lebih luas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Baca Juga: Mandat Baru Bank Indonesia dalam RUU P2SK, Peluang atau Risiko?
Ia berpandangan, sudah semestinya seluruh penegakan hukum di berbagai sektor yang ada di Indonesia menyesuaikan dengan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam KUHAP sebagai induk hukum acara.
"Soal dimasukkannya filosofi restorative justice sebagai pendekatan hukum di dalam proses penyelidikan dan penyidikan di sektor keuangan ini sesuai dengan prinsip penegakan hukum yang dikembangkan di UU KUHAP," ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (5/10).
Sebagai informasi, di dalam dratf RUU P2SK hasil harmonisasi, disisipkan pasal 48C terkait restorative justice yang merupakan salah satu poin perubahan.
Sebelumnya, kewenangan menghentikan penyelidikan atas permohonan penyelesaian hanya dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam draf terbaru, kewenangan tersebut kini dapat dilakukan oleh OJK maupun Kepolisian RI (Polri) melalui mekanisme restorative justice. Namun, penghentian proses hukum tersebut harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Jaksa Agung.
Baca Juga: RUU P2SK Bisa Gerogoti Independensi BI, Indef Beri Saran Ini
“Atas permintaan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau penyidik Otoritas Jasa Keuangan, penuntut umum dapat menghentikan penuntutan setelah mendapat persetujuan dari Jaksa Agung melalui mekanisme keadilan restoratif," demikian bunyi pasal 48C ayat (5) draft RUU P2SK hasil harmonisasi 1 Oktober 2025.
Kendati demikian, ketika disinggung mengenai efektivitas penerapan aturan ini ke depan, Misbakhun menilai hal tersebut belum bisa diukur. Menurutnya, evaluasi baru bisa dilakukan setelah beleid tersebut berlaku dan diimplementasikan di lapangan.
"Soal efektivitasnya, kan ini belum diterapkan. Baru setelah UU P2SK berlaku dan ada evidence base-nya, baru kita bicarakan soal efektivitasnya," tutup politisi Partai Golkar tersebut.
Selanjutnya: Batal Kirim Email? Panduan Lengkap Gmail & Outlook 2025
Menarik Dibaca: Berapa Modal Buka Salon Kecantikan? Estimasi Rp 67,6 Juta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News