Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Uni Eropa (EU) mengajukan gugatan terhadap Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) soal pelarangan ekspor nikel.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta untuk segera mempersiapkan jawaban atas gugatan tersebut. "Ya hadapi. Siapkan pengacara terbaik sehingga bisa menangkan gugatan itu," ujar Jokowi, pekan lalu.
Baca Juga: Perang dagang Indonesia-Uni Eropa: Sawit ditolak, nikel bertindak
Jokowi bilang jangan sampai karena digugat membuat Indonesia justru mundur. Oleh karena itu perlu dipersiapkan agar tidak hanya melawan balik, tetapi juga dapat memenangkan perkara tersebut.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani ketika dihubungi Kontan.co.id bilang mekanisme pelarangan ekspor impor sejatinya diperbolehkan melalui berbagai mekanisme seperti tarif, kuota, perijinan, pajak dan standar.
"selama memiliki alasan yang bisa dijustifikasikan dan selama aturannya ditransparansikan kepada seluruh anggota WTO," terang Shinta, Rabu (18/12).
Baca Juga: Pemerintah rapatkan barisan dengan stakeholder untuk melawan Uni Eropa di WTO
Shinta melanjutkan, Indonesia bisa menerapkan restriksi permanen dengan alasan keamanan nasional seperti yang dilakukan Amerika Serikat saat ini terhadap produk besi-baja. Kendati demikian, ia menjelaskan, secara tradisional alasan keamanan lebih dimaksudkan untuk mengontrol perdagangan senjata.
Shinta menilai, ada sejumlah persiapan yang harus dilakukan antara lain, melihat hasil konsultasi bilateral termasuk pasal-pasal yang dikeluhkan oleh EU. Untuk itu, perlu disiapkan argumentasi yang tepat. "Bisa juga mempelajari kasus serupa yang terjadi di WTO karena ini sudah sering terjadi," kata Shinta.
Disisi lain, Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) berpandangan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebenarnya sudah tepat.
Baca Juga: Indonesia masih mengkaji subsidi yang dilakukan Uni Eropa untuk produk susunya
"Kebijakan itu memang sudah seharusnya dikeluarkan oleh pemerintah. Bahkan kalau kita tegas mengikuti UU Minerba, kebijakan tersebut telah berlaku sejak 2014. Jadi, tidak ada yang salah dengan kebijakan tersebut. Kita tidak perlu takut dengan Uni Eropa," kata Bisman Bhaktiar, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan.
Bisman melanjutkan, saat ini bijih nikel yang diolah menjadi feronikel nilainya jauh lebih besar, yaitu naik hingga 10 kali lipat. Nilai nikel kian melambung tinggi sampai 19 kali lipat apabila feronikel diolah, misalnya menjadi stainless steel. Begitu pula bijih bauksit yang diolah dan dimurnikan menjadi alumina, akan bernilai delapan kali lipat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News