Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Rizki Caturini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perkembangan industri properti Indonesia tidak terlepas dari permasalahan-permasalahan hukum. Tidak jarang terjadi sengketa antara pemgembang dan konsumen serta pengembang dan perbankan, hingga akhirnya terancam pailit.
Persoalan-persoalan yang muncul dalam industri properti karena proses jual-beli yang terjadi harus melewati proses hukum yang kompleks. Banyak dari proses-proses tersebut membuat pengembang tidak bisa melakukan serah terima barang sesuai perjanjian sehingga terancam pailit.
Yusuf Sofie, Dosen Fakultas Hukum Universitas Yarsi mengatakan, ada banyak permasalahan properti yang bisa menyebabkan sengketa antara konsumen dan pengembang yang menggunakan hukum kepailitan.
Peta masalah tersebut di antaranya, bangunan tidak layak huni, kualitas pekerjaan bangunan, kerusakan bangunan, fasilitas sosial (fasos) tidak terpenuhi, tanah bermasalah dengan pihak ketiga, kenaikan suku bunga, dokumen sertifikat tidak atau belum selesai, lokasi kebanjiran akibat drainase tidak layak, dan realisasi kehidupan bertetangga.
Namun, Yusuf mengatakan dalam hukum kepailitan, konsumen akan dirugikan. Pasalnya, dalam rezim kepailitan yang di utamakan adalah kreditur. "Baru nanti kalau ada sisanya, itu yang diberikan ke konsumen. Oleh karena itu, sengketa konsumen dan pengembang bukan kepailitan karena hubungan mereka bukan utang tetapi gagal serah terima," jelas Yusuf di Jakarta baru-baru ini.
Senada, Managing Director Smart Property Consulting (SPC) Muhammad Joni menilai, kepailitan bukanlah langkah yang utama dalam menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pengembang. Pasalnya, jual beli properti itu berbeda dengan jual beli produk konsumsi, karena prosesnya harus memenuhi aturan yang sangat kompleks.
Menurut Joni, dalam hubungan antara pengembang dan pembeli tidak terdapat utang tetapi kewajiban serah terima barang (unit properti). Sehingga sengketa yang terjadi bukan diselesaikan dengan hukum kepailitan tetapi dengan undang-undang perlindungan konsumen.
"Jika pengembang gagal melakukan penyerahan unit atau lewat dari jangka waktu yang disepakati maka yang ada adalah gagal serah dan bukan serta merta jadi utang karena perjanjiannya masih hidup. Sementara kalau pailit itu terjadi kalau ada utang, " jelas Joni pada Kontan.co.id, Rabu (31/1).
Joni menambahkan, evaluasi konstruksi dalam relasi konsumen dan produsen ada dua yaitu prestasi dan kontra prestasi. Prestasi artinya melakukan serah terima sesuai perjanjian.
Dalam hukum Perlindungan Konsumen, barang yang gagal diserahkan sesuai perjanjian harus tetap diserahkan ke konsumen. Jika tetap gagal diserahkan maka uang konsumen harus dikembalikan beserta dendanya. "Jika tidak melakukan pembayaran juga, konsekuensinya adalah wan prestasi dan selanjutnya diputus kontraknya," terang Joni.
Menurut Joni, sengketa konsumen dan pengembang seharusnya lebih tepat diselesaikan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Oleh karena itu, dia menyarankan agar perbankan sebagai pemberi kredit kepada konsumen menambah klausul dalam perjanjian kredit bahwa jika terjadi sengketa maka harus masuk ke forum BPSK bukan lewat hukum kepailitan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News