kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Selain Granadi dan villa di Megamendung, Kejakgung bidik aset lain Yayasan Supersemar


Kamis, 22 November 2018 / 05:35 WIB
Selain Granadi dan villa di Megamendung, Kejakgung bidik aset lain Yayasan Supersemar
ILUSTRASI. Situs Yayasan Supersemar


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Putusan Peninjauan Kembali (PK) memutuskan Yayasan Supersemar harus membayar kerugian negara senilai US$ 315 juta dan Rp 139,43 miliar. Terkait dengan hal ini, Kejaksaan Agung (Kejakgung) tengah membidik sejumlah aset yayasan yang dibentuk oleh mantan Presiden Soeharto ini.

Direktur Pertimbangan Hukum Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejagung Yogi Hasibuan bilang selain Gedung Granadi, Kuningan di Jakarta Selatan, satu villa di Megamendung, Bogor juga telah dilakukan penyitaan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

"Gedung Granadi, satu, kemudian ada villa di Megamendung. Keduanya sudah disita dan sedang dalam proses appraisal (penilaian). Kita akan terus menelusuri aset untuk memenuhi nilai sebagaimana diputuskan," kata Yogi Di Kejagung, Jakarta, Rabu (21/11).

Sementara sejak putusan Peninjauan Kembali diketuk pada 5 Juli 2015, Yogi bilang sudah ada beberapa aset senilai Rp 242 miliar yang telah disita.

Nilai tersebut berasal dari beberapa rekening giro, dan deposito yang telah dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Untuk yang sudah disita itu ada 113 rekening dengan nilai Rp 242 miliar," lanjut Yogi.

Terkait penyitaan Gedung Granadi, Ketua DPP Partai Berkarya Badaruddin Andi Picunang membantah bahwa Berkarya tidak berkantor di Granadi sebagaimana ramai diberitakan.

Pun, Badaruddin bilang sejatinya, Supersemar tak sepenuhnya memiliki Granadi.

"Berkarya tidak ikut campur, karena sebenarnya juga Supersemar juga bukan pemilik sepenuhnya dari Gedung Granadi," katanya saat dihubungi Kontan.co.id.

Mengingatkan perkara antara Kejagung dengan Supersemar bermula dari gugatan Kejagung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2007. Gugatan diajukan guna menuntut balik uang negara yang disalahgunakan oleh Supersemar.

Asal tahu, pada 1976, Soeharto menerbitkan PP 15/1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan 333/KMK.011/1978.

Dua beleid ini mengatur bahwa 50% dari 5% laba bersih bank plat merah tersebut harus disetor ke rekening Supersemar. Dana tersebut diniatkan untuk penyaluran beasiswa melalui Supersemar.

Alih-alih memberikan beasiswa, duit tersebut justru disalurkan ke beberapa perusahaan diduga milik Keluarga Cendana. Nilai totalnya mencapai US$ 420 juta, dan Rp 185 miliar. Lantaran berasal dana berasal dari regulasi, makanya Kejagung mengajukan gugatan.

Sementara nilai gugatan senilai US$ 315,00 juta, dan Rp 139,43 miliar adalah 75% dari aliran dana. Soal ini, mengutip putusan 140 PK/Pdt/2015 diambil lantaran 25% dari aliran dana dinilai Kejagung dipergunakan sebagaimana mestinya, alias untuk penyaluran beasiswa.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×