Reporter: Herlina KD |
JAKARTA. Neraca perdagangan Indonesia kembali minus pada Juli 2012, sekitar US$ 177 juta. Artinya, pemasukan devisa ekspor masih lebih rendah ketimbang devisa yang keluar untuk impor.
Sudah empat bulan berturut perdagangan Indonesia mencatatkan defisit. Yang agak melegakan, nilai defisit perdagangan ini menurun ketimbang defisit bulan Juni 2012 yang senilai US$ 1,29 miliar.
Gabungan kebijakan moneter dan fiskal agaknya berhasil mendongkrak ekspor di satu sisi, sementara di sisi lain bisa mengerem arus impor sepanjang Juli 2012. Simak saja data Badan Pusat Statistik (BPS). Juli 2012, nilai ekspor Indonesia naik 4,6%, sementara impor melambat 2,39%.
Salah satu aturan yang tampak berhasil menekan impor adalah kenaikan uang muka atawa down payment kredit kendaraan menjadi minimum 30% di perbankan maupun industri pembiayaan. Asal tahu saja, impor mesin dan onderdil kendaraan bermotor, termasuk penyumbang terbesar defisit neraca perdagangan Indonesia.
Pengetatan impor buah yang berlaku mulai Juni 2012 lalu juga berandil mengerem defisit perdagangan. Gara-gara pengetatan impor hortikultura ini, impor buah-buahan juga merosot.
Sikap Bank Indonesia (BI) yang cenderung membiarkan rupiah melemah hingga 1% per Juli 2012 menjadi di kisaran Rp 9.467 per dollar AS, juga mujarab mengurangi defisit perdagangan. "Rupiah yang agak melemah ini merupakan insentif bagi ekspor, sebaliknya disinsentif bagi impor," kata ekonom BCA David Sumual, Senin (3/9).
Direktur Statistik Distribusi BPS, Satwiko Darmesto, menyatakan, secara tradisional neraca dagang Indonesia dengan negara seperti Thailand lebih sering surplus. Tapi, dalam beberapa tahun terakhir berbalik menjadi negatif lantaran kita banyak mengimpor produk otomotif dari Negeri Gajah Putih itu.
BPS mewanti-wanti, angka impor masih bisa membengkak lagi di pengujung tahun. Sebab, masih ada perayaan Natal dan Tahun Baru. Musim perayaan ini berpotensi mendorong impor.
David memperkirakan, Indonesia masih berpeluang menikmati surplus perdagangan hingga akhir tahun nanti. Terutama bila harga komoditas perkebunan dan pertambangan naik. Namun, nilai surplus ini tidak bisa sebesar surplus tahun lalu yang mencapai US$ 26,32 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News