Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memerintahkan kepada menterinya untuk bersikap waspada terhadap situasi ekonomi terkini.
Ucapan SBY ini bukan tanpa alasan, sejumlah indikator ekonomi akhir-akhir ini menunjukkan signal merah semakin kencang menyala. Faktor ekonomi global, di mata SBY menjadi hal yang paling harus diwaspadai.
Signal waspada itu terlihat, misalnya, dari nilai tukar rupiah yang terus merosot hingga Rp 11.644 per US$ pada hari Rabu(13/11) lalu.
Meskipun kemarin mengalami rebound ke level Rp 11.546 per US$, tetapi jika melihat pelemahan rupiah sepanjang tahun (year to date) sudah mencapai 15,17%, ini merupakan yang tertinggi di antara negara-negara kawasan.
Bukan hanya itu, Indeks harga Saham Gabungan (IHSG), akhir-akhir ini juga menunjukkan pelemahan. Hal itu merupakan respons dari kondisi fundamental ekonomi yang lemah, yang ditunjukkan dari Current Account Deficit (CAD) yang masih besar di kuartal III, yaitu sebesar Rp 8,4 triliun. Inflasi bulan Oktober memburuk dibanding sebulan sebelumnya yang mengalami surplus.
Ekonom Dana Reksa Institute (DRI) Purbaya Yudhi Sadewa, menilai, kesalahan utama pemerintah adalah karena mendesain ekonomi hanya untuk mengundang investor asing.
Salah satunya kebijakan BI rate yang tinggi. Dengan BI rate tinggi, menyebabkan investor asing pemburu untung sesaat berbondong-bondong masuk ke pasar finansial Indonesia.
Akibatnya, ketika terjadi sedikit gejolak di pasar modal dan pasar surat berharga, spekulan asing itu langsung pergi meninggalkan Indonesia.
Nah, untuk menjaga mereka tetap berada di Indonesia maka Bi rate kembali dinaikkan. “Kalau BI ataupun pemerintah tidak segera mengubah kebijakan, maka kita akan terperosok dalam fase perlambatan yang nantinya bisa menuju pada fase perlambatan parah,” kata Purbaya.
Pekerjaan rumah pemerintah
Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti, menimpali, ekonomi Indonesia memang cukup rapuh. Apalagi, dengan tingkat konsumsi domestik yang tinggi, menyebabkan Indonesia lebih tergantung terhadap impor.
Karena itu, menurut Destry, pekerjaan rumah bagi pemerintah saat ini adalah mengimplementasikan kebijakan yang sudah dibuatnya.
Meski begitu, menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri melihat, buruknya fundamental ekonomi memang tidak bisa dipulihkan hanya dalam beberapa malam, atau satu dua kebijakan. Sebab, kata dia, hal itu membutuhkan proses yang membutuhkan waktu.
Contohnya, kebijakan pemberian insentif yang telah dikeluarkan Pemerintah beberapa waktu lalu. Efek kebijakan itu diperkirakan baru bisa dirasakan pada tahun depan. Itu sebabnya, Chatib mengaku optimistis ke depan, ekonomi Indonesia akan mengalami perbaikan.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menambahkan, pihaknya hanya bisa merespons setiap kondisi ekonomi dengan kebijakan moneter, salah satunya menaikkan BI rate.
Ia menilai, kebijakan menaikkan BI rate sudah tepat. Ia juga tidak mau menyalahkan pemerintah yang tidak bisa menurunkan CAD. Menurutnya, semua kebijakan ekonomi harus dikoordinasikan, tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News