Reporter: Noverius Laoli | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Peranan media massa atau pers dalam mendukung pemberantasan korupsi cukup massif belakangan ini. Hal itu menjadi citra positif kemajuan demokrasi di Indonesia, dimana pers memiliki kebebasan dalam mengungkap apa yang menjadi keprihatinan masyarakat.
Kendati demikian, pers harus tetap obyektif dengan mendasarkan fakta dan bukan opini dalam pemberitaan. Caranya, informasi yang diperoleh harus diuji terlebih dahulu sehingga tidak mencampuradukan antara fakta dan opini yang berpotensi menghakimi seseorang atau kelompok. Selain itu, pers juga harus tetap memengang asas praduga tidak bersalah.
Hal itu disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam sambutannya pada Puncak Peringatan Hari Anti Korupsi dan HAM se dunia di Istana Negara, Senin (9/12).
"Ke depan, pers dan media massa, agar terus dan tetap aktif untuk menyukseskan upaya kita mencegah memberantasn korupsi di Indonesia. Dalam pemberitaan, masyarakat berharap agar informasi itu benar-benar akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk," tutur Presiden.
SBY mengatakan, pers tidak boleh berbohong dan menyebarkan fitnah dalam pemberitaan. Hal itu merupakan sudah menjadi bagian dari kode etik jurnalistik dan dalam Undang-Undang Pers, wajib hukumnya wartawan media massa mentaati kode etik jurnalistik tersebut.
"Kita ingin, demi keadilan yang seharusnya berlaku trial by the court, dan bukan trial by the press. Ini sangat penting," ungkap Ketua Umum Partai Demokrat ini.
Kendati mengkritik pers, SBY juga menyampaikan pujian bahwa gencarnya pemberitaan media massa terkait pemberantasan korupsi layak diacungkan jempol. Presiden mengaku senang atas tindakan tersebut. Ia menilai upaya pemberitaan pemberantasna korupsi oleh pers merupakan hal yang baik dan positif bagi kemajuan bangsa Indonesia.
Dengan pemberitaan yang gencar itu pula, SBY menilai pers selalu mengingatkan masyarakat dan para pejabat untuk tidak korupsi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News