Reporter: Benediktus Krisna Yogatama, Maizal Walfajri | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Pemerintah mengevaluasi penerapan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) atau Free Trade Zone (FTZ) Batam-Bintan-Karimun (BBK). Penerapan kawasan itu dinilai sudah melenceng dari cita-cita awal, karena nilai impor lebih tinggi dari ekspor.
Pemerintah melihat, penerapan FTZ Batam, Bintan, Karimun telah menimbulkan potensi kerugian pemasukkan negara dari pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN), PPnBM, bea masuk impor, dan cukai. "Kami melihat kembali, perlu dibenahi," ujar Imam Haryono, Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian, Senin (5/8).
Menurutnya, kawasan perdagangan bebas Batam, Bintan, Karimun seharusnya menjadi pintu masuk investasi, peningkatan devisa dari ekspor, tempat pertukaran teknologi, dan penyerapan tenaga kerja. Apalagi kawasan itu ada di jalur strategis perdagangan dunia sehingga sangat potensial meningkatkan pendapatan negara dari ekspor.
Namun setelah beroperasi mulai 2007, FTZ Batam, Bintan, dan Karimun malah lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Badan Pusat Statistik (BPS) Batam mencatat, impor di Batam pada 2014 mencapai Rp 35 triliun - Rp 40 triliun. Namun ekspor dari Batam berkisar Rp 30 triliun-Rp 35 triliun. Itu artinya kawasan itu lebih dimanfaatkan sebagai lokasi impor murah.
Imam juga menyebut, berdasarkan data Kantor Pelayanan Umum (KPU) Bea Cukai Batam, potensi perpajakkan yang hilang di Batam tahun lalu Rp 19,73 triliun. Bandingkan dengan realisasi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Batam pada 2014 yang Rp 572 miliar.
Realisasi investasi di Batam juga hanya peringkat 20 di Indonesia. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi di Batam sebesar Rp 3,07 triliun. Nilai itu tidak sesuai dengan potensi di Batam, Bintan, dan Karimun.
Imam bilang, ada empat sektor industri yang bisa dikembangkan. Yaitu industri pendukung migas, industri komponen elektronik, industri multimedia, dan industri galangan kapal. Apalagi Batam tidak jauh dari pelabuhan Iskandar Malaysia dan pelabuhan Singapura.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah membawa pengembangan FTZ Batam, Bintan dan Karimun dalam pembicaraannya dengan Pemerintah Singapura. Jokowi mengaku, walau memiliki potensi yang besar, namun pemerintah tidak berkonsentrasi dalam pengembangnya.
Humas Ditjen Bea dan Cukai Haryo Limanseto mengaku tidak memiliki otoritas menjelaskan mengapa impor di Batam, Bintan, dan Karimun lebih besar dibanding ekspor. Bea cukai hanya penjaga agarĀ barang impor yang masuk tidak merembes keluar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News