kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Saat obligasi pemerintah mengancam swasta


Kamis, 08 November 2018 / 22:22 WIB
Saat obligasi pemerintah mengancam swasta


Reporter: Havid Vebri, Nina Dwiantika, Ragil Nugroho | Editor: Havid Vebri

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah terus menyedot dana dari pasar keuangan dengan merilis obligasi. Terbaru, mulai 1 November lalu, pemerintah menawarkan Sukuk Tabungan (ST) seri ST-002, dengan tingkat imbalan yang terbilang menggiurkan, sebesar 8,3% per tahun.

Sebelumnya, pemerintah menjajakan Obligasi Negara Ritel (ORI) seri ORI15, yang penawarannya berakhir 25 Oktober lalu. Tingkat kuponnya juga di atas 8% per tahun, persisnya sebesar 8,25%.

Angka ini jelas lebih tinggi dibanding bunga deposito perbankan yang masih berada di kisaran 6% setahun. Belum lagi, pajak penghasilan final bunga deposito 20%, sementara pajak bunga ORI hanya 15%.

Tidak mengherankan, pemerintah mencatat, total volume pemesanan pembelian mencapai Rp 23,37 triliun. Penawaran surat utang ritel ini mengalami kelebihan permintaan (oversubcribe) sebanyak 2,35 kali dari target awal Rp 9,95 triliun.

Untuk surat berharga negara (SBN) ritel saja, sepanjang tahun ini pemerintah sudah menerbitkan lima kali. Perinciannya, Sukuk Ritel (SR) seri SR010, Savings Bond Ritel (SBR) seri SBR003 dan SBR004, ORI015, serta ST-002.

Loto Srinaita Ginting, Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, mengatakan, pemerintah memang gencar menerbitkan SBN guna mendukung pemenuhan sebagian kebutuhan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. “Hasil penerbitan akan digunakan untuk pembangunan nasional, khususnya dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan sumber daya manusia,” katanya.

Realisasi pembiayaan melalui utang hingga September lalu sudah mencapai Rp 304,94 triliun atau 76,4% dari target APBN 2018. Realisasi ini terdiri dari penerbitan SBN (neto) sebesar Rp 308,76 triliun atau 74,5% dari APBN 2018, dan pinjaman (neto) minus Rp 3,82 triliun atawa 25% dari rencana.

Meski begitu, pertumbuhan pembiayaan utang menunjukkan tren yang menurun dibandingkan dengan periode sama pada 2017. Penurunannya sebesar 25,14%. Ini seiring komitmen pemerintah untuk tetap mendorong pengelolaan utang yang prudent dan terukur.

Makin mahal

Masalahnya, pemerintah tetap menerbitkan surat utang di tengah tren kenaikan suku bunga. Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) tahun ini saja sudah naik 125 basis poin (bsp) ke posisi 5,75%.

Alhasil, pemerintah mau tidak mau harus memberikan imbal hasil yang tinggi demi menarik investor. Contoh, saat menawarkan SBR seri SBR003 pada Mei lalu, kupon minimalnya hanya 6,8%. Tapi sekarang, pemerintah menjanjikan imbal hasil minumum 8%.

Dalam lelang Surat Utang Negara (SUN) pada 23 Oktober lalu, investor juga meminta imbal hasil yang tinggi. Walhasil, untuk FR0078 yang jatuh tempo pada 15 Mei 2029 mendatang, pemerintah memberikan kupon sebesar 8,25% setahun. Sebab, yield tertinggi yang masuk 8,88% dan terendah 8,62%.

Saat ini, ada 39 seri SBN rupiah yang beredar dan bisa diperdagangkan. Dan, untuk mengetahui pergerakannya, biasanya pelaku pasar surat utang mengacu pada empat seri acuan (benchmark). Dari keempat seri acuan itu, FR0064 yang bertenor 10 tahun menjadi salah satu seri yang paling sering diperhatikan dan ditransaksikan di pasar. Nah, saat ini yield SUN 10 tahun itu sudah berada di level 8,52%. Padahal, akhir tahun lalu yield-nya masih 6,4%.

Aksi pemerintah yang tetap agresif menjaring dana masyarakat lewat surat utang membuat sebagian perusahaan yang berencana menerbitkan obligasi gerah. Sebab, mereka terpaksa harus mengerek bunga obligasi korporasinya lebih tinggi agar tetap bisa bersaing merebut hati para pemilik dana di pasar.

Dalam kondisi seperti ini, para ekonom sering mengingatkan pemerintah soal potensi crowding out. Bunga yang tinggi akan membuat perusahaan, baik badan usaha milik negara (BUMN) dan swasta, enggan merilis obligasi karena biaya yang mereka keluarkan terlalu mahal. Imbasnya, ekspansi perusahaan bisa berhenti. Ujungnya adalah, laju pertumbuhan ekonomi bisa tertahan.

INDOBeX Corporate Total Return keluaran Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), Kamis (1/11) ada di posisi 255,6052. Angka ini tumbuh 0,96% sejak awal tahun alias year to date (ytd). Sementara secara year on year (yoy) meningkat 3,9%. Informasi saja, INDOBeX Corporate merupakan acuan bagi obligasi korporasi berisi surat utang korporasi berkupon tetap dan sukuk korporasi akad ijarah.

Tunda penerbitan

Tak pelak, di era bunga tinggi seperti sekarang, tak sedikit perusahaan yang memilih menunda penerbitan obligasi. Sebab itu tadi, bila ingin bersaing dengan surat utang negara, korporasi harus menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi.

PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) mencatat, ada empat perusahaan yang menunda penerbitan obligasi dengan total emisi sebesar Rp 1,65 triliun. Perusahaan tersebut dari sektor perbankan dengan nilai emisi Rp 300 miliar, konstruksi senilai Rp 800 miliar, perkebunan Rp 200 miliar dan sektor lain-lain Rp 350 miliar.

Vonny Widjaja, Managing Director Pefindo, memperkirakan, pasokan obligasi korporasi baru di sisa tahun ini hanya akan bertambah Rp 11,1 triliun. Hingga Agustus lalu, total penerbitan obligasi korporasi anyar mencapai Rp 45,97 triliun. Dengan begitu, penerbitan obligasi korporasi sepanjang tahun hanya Rp 57,07 triliun.

Menurut Vonny, kondisi akan berlanjut hingga tahun depan. Selain kenaikan suku bunga dan pelemahan nilai tukar rupiah, faktor politik akan mengadang penggalangan dana di pasar modal. Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 bisa menimbulkan ketidakpastian.

Sampai akhir tahun ini, Pefindo memprediksikan, emisi penerbitan obligasi korporasi, termasuk surat utang jangka menengah alias medium term notes (MTN), sukuk, dan sekuritisasi hanya sebesar Rp 152 triliun. Sementara tahun depan, Pefindo menurunkan target penerbitan menjadi Rp 148 triliun. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dibanding penerbitan obligasi korporasi pada tahun lalu yang mencapai Rp 185 triliun.

Sementara bagi korporasi yang sudah terlanjur memasarkan obligasi, cenderung minim peminat. Sebut saja, obligasi Federal International Finance (FIF) yang mencatat pemesanan pembelian di bawah target, yakni Rp 1,3 triliun dari rencana sebelumnya mencapai Rp 1,5 triliun. “Saya lihat, angka Rp 1,3 triliun nilai maksimal yang terkumpul,” kata Hugeng Gozali, Direktur FIF Group.

FIF menerbitkan obligasi dalam dua seri. Seri A dengan tenor 370 hari membayar bunga 7,5% per tahun. Satu lagi seri B dengan jangka waktu 36 bulan senilai Rp 661 miliar dengan bunga sebesar 8,75%.

Menurut Vonny, masih ada perusahaan yang berniat menerbitkan obligasi korporasi lantaran mereka membutuhkan pendanaan untuk refinancing atau membayar utang yang telah jatuh tempo di tahun ini.

I Made Adi Saputra, Analis Fixed Income MNC Sekuritas, membenarkan, banyak korporasi yang menunda penerbitan obligasi di saat suku bunga cenderung naik. Mereka tak ingin menanggung biaya dana atau cost of fund yang tinggi.

Bukan cuma itu, minat investor membeli obligasi juga melemah. Dalam beberapa penerbitan obligasi korporasi, Made mengamati, target penerbitan emiten tak sejalan dengan penyerapan dari investor.

Maklum, lantaran yield obligasi negara acuan naik, investor lebih tertarik berinvestasi di SUN. Soalnya, risiko lebih rendah dan likuiditas lebih tinggi daripada obligasi korporasi.

Pemerintah siap membayar mahal keputusan mereka merilis surat utang dengan bunga tinggi. Pertumbuhan ekonomi terancam jalan di tempat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×