kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.239.000   4.000   0,18%
  • USD/IDR 16.580   -32,00   -0,19%
  • IDX 8.118   47,22   0,59%
  • KOMPAS100 1.119   4,03   0,36%
  • LQ45 785   1,90   0,24%
  • ISSI 286   2,08   0,73%
  • IDX30 412   0,93   0,23%
  • IDXHIDIV20 467   0,39   0,08%
  • IDX80 123   0,45   0,36%
  • IDXV30 133   0,76   0,57%
  • IDXQ30 130   0,07   0,05%

RUU P2SK Memuat Restorative Justice, Pengamat: Tidak Tepat Jika Diberikan Ke Polri


Minggu, 05 Oktober 2025 / 13:55 WIB
RUU P2SK Memuat Restorative Justice, Pengamat: Tidak Tepat Jika Diberikan Ke Polri
ILUSTRASI. Pengamat sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda.


Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Putri Werdiningsih

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) memuat sejumlah aturan baru, salah satunya terkait mekanisme restorative justice (RJ) dalam penanganan tindak pidana di sektor keuangan.

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menjelaskan, beban Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam mengelola ekosistem jasa keuangan sudah cukup berat. Adanya restorative justice yang dimiliki oleh OJK, membuat beban penyidikan dari OJK berkurang.

Namun demikian, kata dia, syarat-syarat pengajuan restorative justice oleh lembaga keuangan yang bermasalah juga kompleks mulai dari penggantian kerugian hingga perbaikan tata kelola. Menurutnya, khusus terkait dengan perbaikan tata kelola ini yang memang ranahnya OJK.

“Di sisi lain, di tubuh Polri juga ada satuan terkait dengan tindak pidana ekonomi. Keduanya saling bersinggungan, namun OJK lebih memiliki kemampuan dalam pengelolaan sistem keuangan karena sehari-hari bergelut dengan jasa keuangan,” ujarnya kepada KONTAN, Minggu (5/10/2025).

Baca Juga: Mandat Baru Bank Indonesia dalam RUU P2SK, Peluang atau Risiko?

Nailul berpandangan, pemberian restorative justice kepada Polri dinillai kurang tepat sebab OJK dirasa lebih paham terkait dengan tata kelola pelaku jasa keuangan.

“Saya rasa tidak tepat jika RJ juga diberikan oleh Polri karena bagaimanapun yang paham terkait dengan tata kelola pelaku jasa keuangan ya OJK. Yang diperkuat adalah persetujuan sebagai check and balances pengajuan RJ,” terangnya.

Lebih lanjut, Nailul menuturkan, ide untuk meminta persetujuan Jaksa Agung sebenarnya sangat memungkinkan agar OJK tidak jadi penentu tunggal. Kemudian, lanjut dia, tinggal bagaimana mekanisme persetujuannya yang dibahas.

“Dari sisi kerugian, Jaksa Agung juga dapat menghitung kerugian negara dan ekonomi, serta strategi pemulihannya. Ini yang bisa dibahas, sedangkan aspek tata kelola harusnya OJK yang berwenang,” tandasnya.

Baca Juga: RUU P2SK Bisa Gerogoti Independensi BI, Indef Beri Saran Ini

Untuk diketahui, di dalam dratf RUU P2SK hasil harmonisasi, disisipkan pasal 48C terkait restorative justice yang merupakan salah satu poin perubahan. Sebelumnya, kewenangan menghentikan penyelidikan atas permohonan penyelesaian hanya dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Dalam draf terbaru, kewenangan tersebut kini dapat dilakukan oleh OJK maupun Kepolisian RI (Polri) melalui mekanisme restorative justice. Namun, penghentian proses hukum tersebut harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Jaksa Agung.

“Atas permintaan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau penyidik Otoritas Jasa Keuangan, penuntut umum dapat menghentikan penuntutan setelah mendapat persetujuan dari Jaksa Agung melalui mekanisme keadilan restoratif," demikian bunyi pasal 48C ayat (5) draft RUU P2SK hasil harmonisasi 1 Oktober 2025.

Selanjutnya: Soal Restorative Justice di RUU P2SK, Begini Tanggapan Ketua Komisi XI DPR

Menarik Dibaca: Berapa Modal Buka Salon Kecantikan? Estimasi Rp 67,6 Juta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Tag


TERBARU

[X]
×