Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) hasil harmonisasi per 1 Oktober 2025 membuka jalan bagi penggunaan aset kripto dalam sistem pembayaran nasional.
Dalam penjelasan Pasal 123 huruf a, disebutkan bahwa inovasi teknologi sistem keuangan (ITSK) mencakup penggunaan aset kripto sebagai transaksi dasar (underlying) dari pembayaran dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
"ITSK dalam sistem pembayaran diantaranya mencakup inovasi teknologi dalam tahap pemrosesan transaksi pembayaran yang terdiri atas kegiatan pratransaksi, inisiasi, otorisasi, kliring, penyelesaian, dan pascatransaksi dalam mendukung ekonomi dan keuangan digital, termasuk penggunaan aset kripto sebagai transaksi dasar (underlying) dari pembayaran mata uang rupiah maupun valuta asing," bunyi penjelasan Pasal 213 huruf a, dikutip Kamis (9/10).
Baca Juga: Pemimpin Oposisi Venezuela Maria Corina Diganjar Nobel Perdamaian 2025
Kepala Pusat Makroekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufiqurrahman menilai, RUU P2SK yang membuka ruang penggunaan aset kripto dalam sistem pembayaran nasional merupakan langkah progresif, namun berisiko tinggi jika tidak disertai arsitektur pengawasan dan koordinasi antarotoritas yang kuat.
"Integrasi kripto ke sistem pembayaran memang mendorong efisiensi dan inovasi keuangan digital, tetapi juga berpotensi menganggu stabilitas moneter, kredibilitas rupiah, dan transmisi kebijakan BI, terutama jika kripto volati dijadikan underlying transaksi," ujar Rizal kepada Kontan.co.id, Jumat (10/10).
Dari sisi kelembagaan, kata Rizal, tumpang tindih antara BI, OJK, dan Bappebti perlu diakhiri melalui kerangka pengawasan terpadu (macroprudential supervison) agar tidak terjadi regulatory arbitrage.
"Dunia usaha dapat diuntungkan melalui efisiensi transaksi lintas negara dan tokenisasi aset riil, namun membutuhkan kepastian hukum, standar keamanan tinggi, dan perlindungan konsumen yang jelas," katanya.
Rizal menambahkan, secara strategis, kripto seharusnya diposisikan sebagai teknologi pendukung, bukan sebagai pengganti uang, dengan penggunaan terbatas pada stablecoin yang diawasi langsung oleh BI.
Menurutnya, inovasi digital harus tetap berpijak pada kedualatan rupiah, integritas sistem keuangan, dan prinsip kehati-hatian dalam setiap tahap implementasinya.
"Dengan demikian, RUU P2SK mencerminkan keberanian Indonesia memasuki era keuangan digital. Namun, inovasi tanpa pengawasan yang kuat justru bisa menjadi risiko sistemik baru," terang Rizal.
Ia menegaskan, kedaulatan rupiah dan stabilitas moneter harus tetap menjadi prioritas utama. Pasalnya, aset kripto boleh menjadi katalis efisiensi sistem pembayaran, tetapi tidak boleh menggantikan fungsi uang nasional.
"Inovasi finansial harus memperkuat, bukan menggantikan otoritas moneter. Kripto boleh menjadi teknologi pendukung, tetapi jangkar ekonomi Indonesia tetap harus rupiah," pungkasnya.
Sementara itu, Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto menilai bahwa implementasi kebijakan tersebut akan bergantung pada kesiapan yang ada di Bank Indonesia maupun juga dari provider untuk jasa pembayaran kripto.
"Saya yakin sih kalau untuk marketnya pasti ada. Dan kita lihat di Indonesia juga untuk transaksi aktivitas untuk perdagangan kripto kelihatannya cukup besar," kata Myrdal.
Di sisi lain, ia mengatakan bahwa blueprint sistem pembayaran BI masih ada beberapa ruang untuk inovasi terkait dengan sistem pembayaran dengan media apa pun.
"Yang pada akhirnya akan mendorong ataupun mendukung juga aktivitas perekonomian," katanya.
Baca Juga: OJK Mau Ubah Aturan Free Float, Pengamat Wanti-Wanti Implementasinya
Selanjutnya: Pemimpin Oposisi Venezuela Maria Corina Diganjar Nobel Perdamaian 2025
Menarik Dibaca: 7 Strategi Nyata Naik Kelas Sosial dari Menengah ke Atas yang Efektif
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News