Reporter: Noverius Laoli | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. DPR bersama Pemerintah memutuskan 50 rancangan undang-undang (RUU) masuk dalam program legislasi nasional 2018, sebanyak 44 RUU merupakan luncuran dari tahun 2017.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Bidang Kajian dan Penelitian Hukum DPP Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Rivai Kusumanegara menyesalkan tidak masuknya RUU Hukum Acara Perdata dalam Prolegnas 2018, padahal bagian dari Prolegnas tahun 2015-2019 dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sendiri telah memiliki draft RUU berikut Naskah Akademiknya.
"Sejak beberapa bulan lalu kami berkoordinasi dengan BPHN mengenalkan konsep pengadilan perdata yang modern. Namun luncuran RUU 2017 terlalu banyak, jadi tidak masuk. Untuk 2019 kami ragu karena itu tahun politik", ujar Rivai dalam siaran pers kepada Kontan.co.id, Jumat (24/11).
Rivai menjelaskan pelaku usaha lebih memilih penyelesaian sengketa di BANI atau Siac (Singapura). Itu disebabkan pengadilan perdata Indonesia tidak cepat dan lugas, bahkan masih gunakan produk hukum Hindia Belanda tahun 1847. "Jika pengadilan perdata fair, sederhana dan memiliki kepastian tentu akan mendorong iklim usaha dan investasi lebih baik", jelas Rivai.
Ikadin menawarkan konsep pengadilan perdata dengan pembatasan upaya hukum. Bagi kasus rumit hanya mengenal kasasi seperti halnya kasus kepailitan, perburuhan dan HaKI saat ini. Sedang untuk kasus sederhana selesai di tingkat banding.
Berita acara sidang dibagikan setiap sidang seperti halnya di Mahkamah Konstitusi, demikian juga semua panggilan melalui pos seperti di PTUN saat ini. Model lelang eksekusi diubah agar animo peserta tinggi.
"Diharapkan Pemerintah dan DPR melihat modernisasi pengadilan perdata sebagai stimulus pemajuan ekonomi dan investasi di tengah menurunnya kondisi ekonomi Indonesia. Bahkan jika dianggap mendesak bisa diproses dengan Perppu" tutup Rivai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News