Reporter: Rika Theo, Hans Henricus, Bambang Rakhmanto, Yudo Winarto, KONTAN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Meski menghadapi ancaman penghentian distribusi film dari Amerika Serikat (AS), pemerintah kukuh dengan keputusannya. Pemerintah tetap menghitung komponen royalti dalam bea masuk film impor.
Direktur Teknis Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Heri Kristiono mengatakan, penghitungan royalti ini bukan menambah tarif bea masuk. Sebab, tarif bea masuk film impor masih tetap. Film impor diklasifikasikan dalam HS code: 3706 dengan pembebanan tarif bea masuk 10%, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor 10%, dan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 impor 2,5%. Namun sekarang, pemerintah memasukkan pajak royalti dalam hitungan pabean film impor.
Ini berawal dari surat Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) ke DJBC pada 26 Maret 2010 untuk menilai kembali nilai pabean film impor yang terlalu rendah. "Kami melakukan audit ulang karena nilai pabeannya terlalu rendah," ujar Thomas Sugijata, Direktur Jenderal Bea Cukai.
Dari audit ulang terungkap selama ini pengusaha film asing memasukkan copy film ke Indonesia tanpa nilai royalti ke dalam nilai pabean. Maka pemerintah pun mengeluarkan kebijakan soal film impor.
Selain menyesuaikan dengan aturan World Trade Organization (WTO), pengenaan bea masuk plus royalti impor film juga bentuk keadilan bagi film dalam negeri yang selama ini terkena berbagai jenis pajak.
Thomas mengatakan, nilai pabean film impor itu hanya US$ 0,43 per meter rol film atau sekitar US$ 1.290 untuk satu rol film. "Dengan nilai itu sudah bisa ditayangkan, padahal produksi film dalam negeri kan lebih dari itu," katanya.
Tapi pengenaan royalti itu mendapat tentangan dari asosiasi produsen film AS, Motion Picture Association of America (MPAA). Mereka menganggap hak distribusi tidak kena bea masuk. "Sebenarnya ini masalah perbedaan interpretasi atas royalti," kata Darussalam, pengamat pajak.
Darussalam berpendapat, pada aturan umum soal bea masuk WTO pasal 8 ayat 1 huruf c, tertulis hak untuk mereproduksi barang impor tak boleh ditambahkan dalam penentuan nilai kepabeanan. Hak mereproduksi itu disebut juga dengan hak distribusi. Jika berlanjut, masalah ini bisa dibawa ke WTO. "Di Malaysia juga pernah terjadi sengketa mirip," imbuhnya.
Pemerintah sudah meminta MPAA menyampaikan keberatan mereka secara tertulis. Namun, menurut Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia Johny Syafrudin, produsen film Hollywood memilih bertemu langsung dengan pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News