kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   -13.000   -0,85%
  • USD/IDR 16.194   -14,00   -0,09%
  • IDX 7.098   1,24   0,02%
  • KOMPAS100 1.062   -0,62   -0,06%
  • LQ45 835   -0,27   -0,03%
  • ISSI 215   0,10   0,04%
  • IDX30 427   -0,19   -0,04%
  • IDXHIDIV20 515   1,35   0,26%
  • IDX80 121   -0,20   -0,17%
  • IDXV30 125   -0,20   -0,16%
  • IDXQ30 142   0,12   0,08%

Revisi UU KPK dinilai melemahkan, ICW desak Jokowi hentikan pembahasan


Kamis, 05 September 2019 / 18:53 WIB
Revisi UU KPK dinilai melemahkan, ICW desak Jokowi hentikan pembahasan
ILUSTRASI. Segel KPK


Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Presiden Joko Widodo untuk menghentikan pembahasan revisi UU KPK. Pasalnya, sejumlah pasal dalam draf revisi UU KPK dinilai melemahkan KPK.

"Dapat dipastikan jika pembahasan ini tetap dilanjutkan untuk kemudian disahkan maka pemberantasan korupsi akan terganggu dan eksistensi KPK akan semakin dilemahkan," kata Kurnia, Kamis (5/9.

ICW mengatakan, terdapat sejumlah isu yang harus dikritisi dalam draft yang beredar di tengah masyarakat. Pertama, pembentukan Dewan Pengawas. Persoalan ini terus menerus hadir dalam naskah perubahan UU KPK, jika melihat lebih jauh maka dapat dikatakan bahwa Dewan Pengawas ini adalah representasi dari Pemerintah dan DPR yang ingin campur tangan dalam kelembagaan KPK.

Baca Juga: Partai Gerindra sebut revisi UU KPK untuk memberikan kepastian hukum

Kedua, kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Isu ini sudah dibantah berkali-kali dengan hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2003, 2006, dan 2010.

Tentu harusnya DPR paham akan hal ini untuk tidak terus menerus memasukkan isu ini pada perubahan UU KPK. Selain dari itu Pasal 40 UU KPK yang melarang menerbitkan SP3 bertujuan agar KPK tetap selektif dalam menentukan konstruksi sebuah perkara agar nantinya dapat terbukti secara sah dan meyakinkan di muka persidangan.

Ketiga, dalam melaksanakan tugas penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Poin ini merupakan sebuah kemunduran bagi pemberantasan tindak pidana korupsi, karena pada dasarnya KPK adalah sebuah lembaga yang menggabungkan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam satu atap.

Tentu jika harus berkoordinasi terlebih dahulu akan menghambat percepatan penanganan sebuah perkara yang akan masuk fase penuntutan dan persidangan.

Keempat, penyadapan harus izin dari Dewan Pengawas. Kali ini DPR ingin memindahkan perdebatan, dari mulanya izin Ketua Pengadilan sekarang melalui Dewan Pengawas. Logika seperti ini sulit untuk diterima, karena justru akan memperlambat penanganan tindak pidana korupsi dan bentuk intervensi atas penegakan hukum yang berjalan di KPK.

Baca Juga: DPR sepakat revisi UU MD3 jadi RUU usulan DPR

"Selama ini KPK dapat melakukan penyadapan tanpa izin dari pihak manapun dan faktanya hasil sadapan KPK menjadi bukti penting di muka persidangan untuk menindak pelaku korupsi. Sederhananya, bagaimana jika nanti Dewan Pengawas itu sendiri yang ingin disadap oleh KPK? Mekanisme itu tidak diatur secara jelas dalam rancangan perubahan," kata Kurnia.



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×