Reporter: Bidara Pink | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani isu perdagangan, investasi, dan pembangunan atau United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menyatakan adanya ancaman resesi yang besar pada tahun 2020.
Dalam laporan berjudul Trade and Development Report 2019, UNCTAD menyebutkan bahwa ini merupakan hasil dari panasnya hubungan dagang internasional dan juga isu geopolitik yang semakin memanas.
Ada juga dampak dari pelemahan nilai mata uang dan juga Brexit yang masih terus berlanjut. Amerika Serikat (AS) sebagai negara adidaya pun tak luput dari dampak kondisi global saat ini. Jerman juga menunjukkan tanda-tanda pelemahan, pun negara Inggris.
Bahkan pada tahun 2019, perlambatan ekonomi ini jelas terlihat di negara berkembang. Amerika Latin merupakan salah satu negara dengan perlambatan ekonomi yang besar.
Baca Juga: Dihantui sentimen negatif, pasangan EUR/GBP bergerak volatil
Meski begitu, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy menilai bahwa Indonesia masih belum akan menuju resesi pada tahun 2020. Namun, Indonesia tetap harus waspada dan siap sedia dengan kondisi yang masih tidak stabil.
"Salah satu indikator resesi adalah pertumbuhan ekonomi seluruhnya melambat 2%-5%. Saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia masih ada di level 5% dan saya pikir Indonesia masih kuat," ujar Yusuf kepada Kontan.co.id, Kamis (26/9).
Namun, meski begitu, Indonesia juga harus waspada dengan dampak tidak langsung yang akan diterima, bila memang negara-negara banyak yang mengalami resesi.
Salah satunya adalah ada potensi larinya investor untuk kembali ke Amerika Serikat (AS). Yusuf mengungkapkan, bahwa dengan kondisi resesi, AS bisa menurunkan harga aset di pasar keuangan dan ini akan menjadi incaran investor.
Baca Juga: Diterpa sentimen negatif, poundsterling melemah terhadap dolar AS
Investor akan kembali ke negara safe haven tersebut dan bisa berpaling dari Indonesia. Bila saat itu terjadi, dan Indonesia tidak memiliki penyangga yang baik, tentu ini akan berpengaruh ke nilai tukar.
Ini juga akan berpengaruh pada semakin melebarnya defisit neraca transaksi berjalan (TB) atau Current Account Deficit (CAD). Karena bila nilai tukar melemah dan impor yang semakin besar, tentu pengeluaran untuk impor juga akan semakin membengkak.
Oleh karena itu, Pemerintah diimbau untuk terus melakukan bauran kebijakan yang tepat untuk bisa mengantisipasi hal ini. Pemerintah juga harus terus berusaha untuk memperkuat kebijakan yang dinilai bisa menggaet investor baik dari luar maupun domestik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News