Reporter: Havid Vebri, Nina Dwiantika, Ragil Nugroho | Editor: Havid Vebri
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Suaranya bergetar menahan jengkel. Andika tampak betul-betul kesal saat menceritakan pengalaman mengajukan pinjaman ke salah satu penyelenggara layanan pinjam meminjam alias peer to peer (P2P) lending basis teknologi finansial (tekfin).
Akhir Agustus lalu, ia terpaksa meminjam Rp 2 juta ke tekfin bernama BusKas untuk biaya pulang ke kampung halaman di Palembang, Sumatra Selatan. Saat itu, ibu saya meninggal, jadi harus pulang, kata karyawan di sebuah perusahaan swasta di Bekasi ini.
Pinjaman tersebut jatuh tempo dua minggu kemudian, dengan bunga sangat tinggi, mencapai 30%. Bila dibagi, bunganya lebih dari 2% per hari. Dia juga masih harus membayar lagi biaya administrasi Rp 200.000 dan denda 0,7% sehari kalau terlambat membayar.
Lantaran bunga kelewat tinggi, saat jatuh tempo Andika tak sanggup melunasi utangnya. Iya, sangat memberatkan apalagi saya juga ada kebutuhan mendesak lainnya. Namun, mereka tidak mau menerima alasan apapun, ungkapnya.
Alhasil, bunga pinjaman pun terus mekar. Hingga akhir Oktober lalu, total bunga pinjaman yang harus ia bayarkan mencapai 60%. Jadi, sekitar 2% per hari, ujarnya. Itu belum termasuk denda harian, ya, total 28,5% selama menunggak.
Gara-gara menunggak, Andika pun terus kena teror perusahaan pinjaman online tersebut. Parahnya, statusnya sebagai penunggak disebar ke seluruh keluarga terdekatnya. Padahal, itu tidak ada dalam perjanjian saat mengajukan pinjaman. Kesepakatan awalnya hanya ada pemberitahuan ke salah satu kerabat, tidak ke banyak anggota keluarga, terangnya.
Karena merasa terteror, dia pun mencari informasi ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perihal perusahaan tekfin tempat dirinya mengajukan pinjaman. Dari situ ia mendapat informasi bahwa tekfin tersebut terdaftar sebagai fintech ilegal. Saya terus dapat informasi kalau Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta buka posko pengaduan soal ini, lalu saya ikut mengadu ke situ, imbuh Andika.
Kisah tragis Andika juga menimpa Pia. Pada 14 Oktober lalu, ia terpaksa meminjam Rp 1,5 juta ke tekfin bernama Tangbull untuk biaya rumahsakit saudaranya. Pinjaman tersebut jatuh tempo 3 November 2018, dengan bunga senilai Rp 252.000. Artinya selama dua pekan, bunganya 16,8% atau lebih dari 1% per hari.
Pia juga masih harus membayar biaya administrasi sebesar Rp 150.000 dan denda Rp 60.000 jika terlambat membayar. Tak mau kena denda, ia pun buru-buru melunasi pokok dan bunga sebelum jatuh tempo.
Masalah muncul. Begitu lunas, nilai pinjaman di aplikasi TangBull tidak berkurang. Justru ia harus membayar tambahan Rp 30.000 per hari. Pia langsung menghubungi customer service, tapi masalah itu baru bisa selesai 14 hari kemudian. Kalau menunggu 14 hari, utang bertambah. Saya sudah bayar lunas, katanya.
Tidak beretika
Andika dan Pia hanya dua dari ratusan orang maupun kelompok yang mengalami kejadian serupa. Buktinya, dalam tiga tahun terakhir, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menerima lebih dari 500 pengaduan terkait pinjamanonline.
Bahkan, sejak Mei hingga awal November lalu saja, ada 283 korban pinjaman onlineyang mengadu ke LBH Jakarta. Kami memang membuka posko pengaduan masyarakat terkait dengan layanan pinjaman online, ujar Jeanny Silvia Sari Sirait, Pengacara Publik Bidang Perkotaan dan Masyarakat Urban LBH Jakarta.
Sebagian besar pengaduan yang masuk ke LBH Jakarta mengeluhkan tingginya bunga pinjaman yang membuat peminjam kesulitan memenuhi kewajiban. Sehingga mereka terpaksa meminjam ke perusahaan pinjaman online lainnya. Jadi, gali lubang tutup lubang, ungkap Jeanny.
Yang bikin tercengang, hampir setiap orang yang mengadu sudah memakai lebih dari satu aplikasi pinjaman online. Ada yang sampai pinjam ke 15 tekfin, beber Jeanny. Mereka terpaksa gali lubang tutup lubang karena takut dengan cara penagihan tekfin yang tidak beretika dan cenderung pidana.
Beberapa bahkan ada yang sampai mengalami pelecehan seksual, penyebaran data pribadi, pengancaman, dan fitnah. Dampak dari cara-cara penagihan ini cukup serius bagi peminjam. Ada yang sampai kehilangan pekerjaan, stres, dan diceraikan pasangannya.
Tak hanya mengadu ke OJK dan LBH Jakarta. Ada juga peminjam yang melapor ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Sulastri, Ketua Bidang Pengaduan YLKI, mengatakan, makin hari makin banyak pengaduan konsumen yang menjadi korban perusahaan tekfin. Sejauh ini, YLKI sudah menerima lebih dari 100 pengaduan dari mereka, baik berupa teror, denda harian, hingga bunga yang setinggi langit.
Bahkan, awal tahun YLKI sudah membuat laporan ke OJK untuk mengawasi dan menertibkan tekfin yang belum tedaftar. Sebab, tekfin yang meresahkan masyarakat ini berpraktik secara ilegal Menurut Sulastri, langkah tegas perlu regulator lakukan. Kalau terus dibiarkan, sama saja dengan melanggengkan praktik rentenir online.
Dan, praktik ini akan semakin merajalela dengan jangkauan yang sangat luas lewat internet. Ditambah, memang masyarakat banyak yang butuh pinjaman, ucap Sulastri.
Kuseryansyah, Ketua Harian Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), mengatakan, penyedia jasa tekfin semakin menjamur di tanah air lantaran memang peluang pasarnya cukup besar. Saat ini saja, ada 73 tekfin P2P lending yang terdaftar di OJK. Sedangkan yang enggak terdaftar mencapai ratusan.
Jelas, keberadaan tekfin ilegal ini sangat merugikan industri fintech legal. Makanya, kami ikut peduli dengan menertibkan anggota kalau ada yang terlibat, kata Kuseryansyah.
Yang ilegal tak ada sanksi
Banyak masyarakat yang mengakses pinjaman ke tekfin terutama yang ilegal, Kuseryansyah menjelaskan, lantaran sangat mudah mendapatkannya ketimbang pinjam ke perbankan. Tanpa agunan pula.
Di sisi lain, banyak masyarakat yang unbankable atau belum tersentuh layanan perbankan atau lembaga keuangan lainnya. Ada potensi kredit yang tidak bisa diakomodir bank dan lembaga keuangan konvensional lainnya senilai Rp 1.000 triliun, ujar Kuseryansyah.
Adrian Gunadi, Ketua Asosiasi FintechPendanaan Bersama Indonesia (AFPRI), menambahkan, prosedur pengajuan pinjaman di tekfin legal lebih ketat ketimbang yang ilegal. Kalau di tekfin legal perlu ada agunan sebagai underlying berupa invoice debitur, kata dia.
Selain itu, ada juga sesi wawancara debitur terkait penggunaan pinjaman. Saat ini, rata-rata bunga pinjaman di tekfin yang terdaftar sebesar 11% per tahun, tergantung jenis pinjaman, apakah sektor produktif atau konsumtif.
Cuma, menurut Jeanny, masalah tekfin ilegal muncul karena OJK belum optimal mengawasi perkembangan industri ini di tanah air. Bukan cuma itu, regulator belum maksimal melindungi nasabah tekfin.
Meski OJK telah mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, beleid ini hanya berlaku bagi tekfin yang terdaftar. Padahal, jumlah tekfin pinjaman ilegal lebih dari 300 perusahaan. Mereka memang dianjurkan daftar, tapi kalau tidak mendaftar tidak ada sanksinya. Dampaknya, mereka bebas saja, kata Jeanny.
Karena itu, Jeanny mendorong OJK mengeluarkan regulasi yang mengatur sanksi terhadap tekfin ilegal. Walhasil, masyarakat korban rentenir online tidak terus berjatuhan.
Hendrikus Passagi, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, membenarkan, regulasi yang ada sekarang baru mengatur tekfin yang terdaftar. Meski begitu, OJK terus memantau perkembangan tekfin ilegal. Jika ingin dilindungi OJK, datang ke tekfin yang terdaftar, tegasnya.
Dengan jadi nasabah di tekfin legal, tentu lebih aman lantaran sudah ada aturan main resminya. Contoh, batas penagihan 90 hari kerja dan bunga maksimal 100% dari pokok.
Itu sebabnya, Hendrikus mempertanyakan, kenapa orang lebih memilih datang ke tekfin ilegal untuk mengajukan pinjaman. Padahal, tekfin liar ini tidak jelas keberadaannya, memberikan bunga tinggi, dan tidak manusiawi dalam melakukan penagihan pinjaman. Kami terus sosialisasi di luar Jawa, seperti di Bali dan Medan, untuk melakukan pinjaman onlinedi tekfin legal, katanya.
Jika tak ada hukum yang tegas dan masyarakat pun abai, korban rentenir online akan terus berjatuhan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News