Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengeluarkan keputusan krusial. Kali ini, putusan uji materi Undang Undang Nomor No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (Migas) berimbas pada pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).
MK mencabut semua pasal di UU Migas yang mengatur otoritas BP Migas lantaran dinilai bertentangan dengan Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Keputusan MK mengabulkan sebagian gugatan terhadap UU Migas yang diajukan antara lain oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudddin, mantan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, Ketua MUI Amidhan, mantan Menakertrans Fahmi Idris, dan politisi muslim, Ali Mochtar Ngabalin. Selain itu, ikut menggugat pula sebanyak 12 ormas Islam.
Saat membaca putusan, kemarin, Ketua MK Mahfud MD mengatakan, keberadaan BP Migas bertentangan dengan konstitusi yang mewajibkan pemanfaatan sumber daya alam bagi kemakmuran rakyat. BP Migas tidak sah secara hukum dan pemerintah bisa segera menata ulang pengelolaan sumber daya migas.
MK menilai, pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan negara mengelola langsung sumber daya migas untuk mendapatkan keuntungan lebih besar lewat mengadakan kebijakan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan. Peran BP Migas seharusnya mewakili negara dalam melaksanakan fungsi-fungsi tersebut.
Mahfud MD memaparkan, fakta BP Migas saat meneken kontrak kerjasama (KKS) telah menghilangkan kebebasan negara untuk membuat regulasi yang bertentangan dengan isi KKS. Dengan demikian, keberadaan BP Migas membatasi negara untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat sesuai amanat UUD 1945.
Hamdan Zoelva, Hakim Konstitusi menambahkan, pemerintah memiliki keleluasaan membuat regulasi, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan sumber daya migas. Dalam pengurusan dan pengelolaan sektor hulu migas, pemerintah dapat memberikan konsesi kepada satu atau beberapa badan usaha milik negara (BUMN).
Din Syamsuddin menilai tepat putusan MK ini. Din berharap, pemerintah dan legislator harus segera membuat produk hukum baru dalam pengelolaan migas. Menurut Din, keberadaan BP Migas dalam UU Migas telah merugikan rakyat yang seharusnya bisa lebih sejahtera. "Kami juga akan terus mengkaji dan mengawasi pemerintah dan DPR dalam implementasi putusan MK ini," tandasnya, Selasa (13/11).
Susyanto, Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui, putusan MK berdampak besar terhadap keberadaan BP Migas. "Yang jelas, BP Migas sudah tidak ada lagi," jelasnya.
Sektor hilir bisa kena
Hadi Prasetyo, Kepala Divisi Humas BP Migas menyerahkan semuanya kepada pemerintah dan DPR menyusul putusan MK itu. "Sesuai aturan, BP Migas hanya melaksanakan dan tidak memiliki wewenang lebih jauh," ujarnya.
Boleh dibilang, putusan MK ini membuat regulasi industri migas kembali ke titik nol. Maklum, selain berdampak langsung terhadap keberadaan BP Migas, putusan ini sebenarnya juga berefek terhadap keberadaan Badan Pengatur Kegiatan Hilir Migas (BPH Migas). Payung hukum pembentukan regulator di bisnis hulu dan hilir migas ini pada dasarnya sama. Hanya saja, para penggugat beleid migas itu tak secara khusus menyoal keberadaan BPH Migas.
Menanggapi potensi tersebut, BPH Migas memilih pasif. "Kalau tidak dibutuhkan lagi, silakan saja pemerintah membubarkan BPH Migas," kata Qoyum Tjandranegara, Anggota Komite BPH Migas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News