kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.528.000   8.000   0,53%
  • USD/IDR 16.240   -40,00   -0,25%
  • IDX 7.037   -29,18   -0,41%
  • KOMPAS100 1.050   -5,14   -0,49%
  • LQ45 825   -5,35   -0,64%
  • ISSI 214   -0,85   -0,40%
  • IDX30 423   -1,15   -0,27%
  • IDXHIDIV20 514   0,87   0,17%
  • IDX80 120   -0,69   -0,57%
  • IDXV30 125   1,36   1,09%
  • IDXQ30 142   0,26   0,18%

Regulasi hambat implementasi BPJS Kesehatan


Minggu, 14 Agustus 2016 / 18:58 WIB
Regulasi hambat implementasi BPJS Kesehatan


Reporter: Handoyo | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Hampir tiga tahun implementasi program Jaminan Kesehatan nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berjalan, ternyata masih banyak regulasi yang menghambat. Oleh karenanya perbaikan kebijakan dituntut untuk segera diselesaikan.

Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Zaenal Abidin mengatakan, hambatan regulasi ini memberikan dampak langsung terhadap jumlah kepesertaan dan kesejahteraan penyedia jasa medis, program JKN. "Kadang-kadang regulasi menjadi pangkal dari hambatan-hambatan yang dilakukan di BPJS Kesehatan," kata Zaenal, akhir pekan lalu.

Beberapa kebijakan yang dimaksud itu adalah, kewajiban memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan. Padahal, saat ini masih banyak penduduk utamanya di daerah yang belum memiliki NIK.

Portabilitas aturan yang dilaksanakan secara kaku turut menghambat pelayanan. Peraturan gubernur yang mengatur regionalisasi atau zonas atas pelayanan kesehatan JKN mengakibatkan peserta JKN tidak leluasa dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.

Minimnya rujuk balik yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit (RS) menimbulkan penumpukan di pelayanan tingkat lanjutan. Padahal, fasilitas kesehatan tingkat pertama harus diotimalkan terlebih dahulu.

Pembagian jasa medis dokter juga dinilai masih belum transparan. Walau ada kebijakan yang menyatakan bila jasa medis maksimal ditetapkan sebesar 44% dari biaya kesehatan namun tidak adanya batasan minimal menjadi pangkal persoalan.

Menurut Zaenal, tidak banyak RS utamanya di daerah yang menerapkan standar pemberian jasa medis secara maksimal. "Karena itu tergantung kepada kebijakan direktur RS, kalau RS daerah maka tergantung Pemerintah Daerah," kata Zaenal.

Asosiasi Rumah Sakit Daerah (Arsada) Tonang Dwi Ardyanto mengatakan, ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) medis di Faskes masih belum merata. Setidaknya dari jumlah Puskesmas yang ada di Indonesia, hanya sekitar 1/3 yang telah memenuhi standar yang baik. Sementara sisanya, sebesar 2/3 masih ada kekurangan-kekurangan terhadap kelengkapan fasilitas.

Kondisi ini harus menjadi perhatian dan Pekerjaan Rumah (PR) bagi Pemerintah Pusat maupaun Pemerintah Daerah (Pemda). Pasalnya, dalam ketentuan yang ada ketersediaan Faskes menjadi tangung jawab pemerintah pusat dan Pemda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×