Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Tahun depan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mempunyai modal baru menggenjot pajak, yakni akses data nasabah industri keuangan. Namun otoritas pajak belum akan memanfaatkan data tersebut untuk menggenjot penerimaan negara. Indikasinya adalah target tax ratio tahun depan masih di sekitar 11%, sama dengan target tahun ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, dengan target pertumbuhan ekonomi tahun 2018 sebesar 5,2%-5,6%, hanya membutuhkan tax ratio maksimal 11%. Target itu tidak banyak berubah dari rasio pajak akhir tahun 2016 yang sebesar 10,36%.
Hanya saja, 10 fraksi partai politik saat Rapat Paripurna di DPR meminta pemerintah mengejar tax rasio hingga 13% pada tahun depan. Alasannya, tax ratio Indonesia paling rendah dibandingkan negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand yang sudah sekitar 14%. "Tax ratio kita selalu stagnan 11%. Ini harus ditingkatkan," ujar Jujum Samsurizal, Anggota Komisi XI DPR.
Namun Sri Mulyani mengingatkan, tax ratio 11% sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi. Jika tax ratio dinaikkan menjadi 13%, malah membuat APBN tak kredibel. "Besok akan kita diskusikan dengan anggota DPR, agar tax ratio lebih do able," ujar Sri Mulyani, Senin (19/6)
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugiasteadi menambahkan, bila ingin mencari pertumbuhan tax ratio, otoritas pajak tidak boleh menarik pajak secara sembarangan. Sebab hal itu bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi.
Ken juga tak menampik bila tax ratio Indonesia masih kecil dibandingkan negara lain. Namun, ia beralasan, tax ratio di Indonesia tidak menghitung besarnya pajak daerah. "Apalagi, PDB Indonesia kan besar. Sementara PDB negara lain kecil. Adapun di negara lain, pajak daerah juga dihitung, tetapi Indonesia tidak. Dulu pajak BPHTB, jasa boga, semua jasa kena pajak di Indonesia," jelasnya.
Ken tidak menampik bahwa Ditjen Pajak belum menyiapkan strategi khusus untuk tahun depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News