Reporter: Yudho Winarto | Editor: Djumyati P.
JAKARTA.Sidang lanjutan pemeriksaan dugaan korupsi dalam pengelolaan ladang minyak Blok Ramba dengan terdakwa Aditya Wisnuwardana dan Franciscus Dewana telah sampai pada pembacaan pledoi (nota pembelaan). Atas pembacaan pledoi sebanyak 200 halaman tersebut, Adtya yang tidak lain putra taipan Edward Soeryadjaya meminta agar majelis hakim dapat mendengar dan mempertimbangkan pledoinya.
"Semoga majelis hakim mendengar isi dan memperhatikan pledoi yang sudah kami bacakan. Karena itu fakta yang sesungguhnya dan apa adanya," kata Masrin Tarihorang, kuasa hukum Aditya usai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (2/9).
Ditegaskannya kasus di Blok Ramba itu tidak ada unsur korupsi yang menyebabkan adanya kerugian negara. PT Elnusa Tbk (anak perusahaan Pertamina) selaku pemilik 25% saham Elnusa Tristar Ramba Limited (ETRL) tidak menderita kerugian sama sekali. "Tidak ada satupun laporan dari BPKP dan BPK yang menyatakan adanya kerugian negara," katanya
Mereka melakukan eksekusi atas saham (mengambilalih) Tristar Global Holding Corporation (TGHC) atas dasar wanprestasi. Perusahaan itu tak kunjung melunasi kewajiban utang senilai US 25 juta yang diberikan oleh Precious Treasure Global Inc (PTGI) milik Soetrisno Bachir dan Edward Soeryadjaya.
Perlu diketahui ETRL perusahaan pengelola Blok Ramba merupakan perusahaan konsorsium dari TGHC dan Elnusa. Sedangkan PTGI, pihak yang memberikan pinjaman kepada TGHC untuk membeli pengelolaan Blok Ramba dari Conoco Philips. "Sengketa pemegang saham ini sudah diselesaikan di Pengadilan British Virgin Island (BVI) dengan kekuatan hukum tetap," katanya.
Menurutnya, perkara ini sampai di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat disebabkan pihak yang kalah (pemegang saham TGHC) tidak puas dengan proses pengadilan BVI. "Jelas tujuannya untuk membuat ketidakpastian hukum dan mencederai prinsip berinvestasi," katanya.
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum Tasjrifin bakal mengajukan replik untuk menanggapi pledoi Aditya tanggal 23 September. Secara terpisah, Jaksa Nova Hilda Saragih menegaskan tidak dapat sepotong-potong melihat kasus ini. Ia menyebutkan tidak ada aturan formal yang mengatakan bahwa penghitungan kerugian negara harus melalui audit BPKP maupun BPK. "Kasus sisminbakum, Deplu, Sarana Jaya, semuanya tidak menggunaan BPKP. Tapi hakim memutuskan terbukti," tegasnya.
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, disebutkan Aditya dan Franciscus mengambilalih management ETRL secara paksa dengan maksud menguasai nett take pengelolaan Blok Ramba. Nah, uang sebesar US$ 10 juta itu dialihkan oleh Aditya dan Franciscus ke sejumlah pihak diantaranya Sutrisno Bachir.
Atas tindakan ini Aditya dan Franciscus di tuntut ancaman penjara 11 tahun dengan denda Rp 500 juta dan ganti rugi sebesar US$ 800 ribu karena dinilai terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) Pasal 18 Undang- Udang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Pasal 372 Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News